Penderitaan Kristus di Kayu Salib

“Dan Yesus berkata: ‘Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.’” (Lukas 9:22)

Memang semua anak manusia lahir, suatu hari akan mati, dan dalam pengertian ini, tujuan atau arah hidup adalah kematian itu sendiri. Namun, tidak ada seorang manusia pun yang memiliki konsep yang begitu jelas akan nasib hidupnya, yakni kematiannya, selain Kristus. Jauh hari sebelum Ia disalibkan, Tuhan Yesus sudah memperingatkan, “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Lukas 9:22).

Matius mencatat empat kali pemberitahuan Tuhan akan kematian-Nya, sedangkan Markus dan Lukas masing-masing mencatat tiga kali. Meski Yohanes hanya mencatat satu kali pemberitahuan Tuhan akan kematian-Nya, tetapi penyusunan wacana Injil itu sendiri memberi tekanan khusus pada kematian Tuhan Yesus. Dari ke-21 pasalnya, sepuluh pasal terakhirnya merupakan catatan peristiwa yang terjadi pada minggu terakhir sebelum Kristus disalibkan. Bandingkan dengan sebelas pasal pertama yang meliput 33 tahun kehidupan-Nya. Tidak heran, ada yang berkesimpulan bahwa keempat Injil sebenarnya merupakan riwayat kesengsaraan dan kematian Tuhan Yesus yang ditulis dengan data pendahuluan yang sedikit panjang.

Mahkota duri dan paku

Kematian Kristus adalah berita sentral tentang karya penebusan-Nya, sedangkan penderitaan Kristus memperjelas harga mahal yang harus dibayar-Nya. Kematian-Nya menjadi bukti akan kasih Allah terhadap manusia yang berdosa. Penyaliban-Nya menegaskan pengorbanan yang harus dilalui-Nya dalam mewujudkan kasih yang teramat agung itu. Menjelang peringatan hari kematian dan kebangkitan-Nya, sudah selayaknyalah kita merenungkan kembali kesengsaraan yang ditanggung-Nya karena kita. Saya berharap melalui uraian seputar penyaliban ini, kita pun dapat menambah pemahaman kita akan penderitaan Kristus, Tuhan kita.

Dalam New Bible Dictionary (second edition) yang disusun oleh J.D. Douglas, kita dapat menemukan banyak keterangan historis dan deskriptif tentang penyaliban. Sebagaimana dicatat dalam Matius 27:26 dan Markus 15:15, sebelum disalibkan, Yesus disesah terlebih dahulu. Pada umumnya, penyesahan dilakukan dengan flagellum, yaitu cambuk yang terbuat dari kulit. Rupanya penyiksaan yang diterima Tuhan Yesus sangat melemahkan tubuh-Nya, Ia bukan saja menerima cambukan, melainkan juga pemukulan dengan sebuah tongkat atau buluh.

Markus 15:19 memberi gambaran grafik tentang pemukulan tersebut yang terungkap dengan jelas dalam Alkitab berbahasa Inggris terjemahan NIV, yakni mereka memukul kepala-Nya dengan sebuah buluh, again and again (berulang kali). Selain itu, para serdadu juga membuatkan mahkota duri yang kemudian ditaruh di atas kepala Tuhan. Mahkota tersebut dianyam dari sejenis akar berduri yang tumbuh di tanah Palestina. Sudah tentu duri yang menancap di kepala Tuhan akan menyebabkan pendarahan, dan jika (hampir dapat dipastikan) Ia mengalami pendarahan pula akibat pencambukan, Ia pun akan mulai kehilangan darah sebelum Ia disalibkan. Ditambah dengan persidangan maraton pada malam sebelumnya yang membuat-Nya tidak tidur, tubuh Tuhan menjadi sangat lemah. Itulah sebabnya, Ia tidak kuat lagi menyandang kayu salib yang akan digunakan untuk menyalib-Nya sehingga para serdadu memaksa Simon orang Kirene untuk menggantikan-Nya memikul salib itu.

Berbeda dengan gambar yang sudah lama beredar, ternyata Tuhan tidak membawa salib yang utuh. Batang salib yang vertikal itu (simplex) sudah tertanam secara permanen di bukit penyaliban Golgota dan yang dipikul oleh Tuhan adalah batang kayu horisontalnya (patibulum). Berat batang kayu ini biasanya sekitar 15-20 kilogram. Sebelum disalib, terhukum akan ditelanjangi terlebih dahulu dan itulah yang terjadi pada Tuhan. Keempat penulis Injil mencatat bahwa para serdadu mengambil pakaian-Nya, kemudian membuang undi dan membagi-bagi pakaian-Nya. Setelah itu, kedua tangan Tuhan direntangkan, lalu disalibkan pada pergelangan tangan, bukan telapak tangan, agar lebih kuat menyangga bobot tubuh-Nya. Penyaliban kedua tangan ini dilakukan dengan cara merebahkan tubuh Tuhan di tanah, dan sesudah itu, barulah tubuh Tuhan diangkat dan disatukan dengan batang salib yang vertikal itu.

Untuk menahan berat tubuh terhukum, biasanya disediakan kayu penyangga (sedecula) pada bagian tengah salib agar ia dapat setengah duduk pada kayu salib. Berdasarkan penemuan arkeologis, jenazah seorang tersalib di sekitar Yerusalem yang hidup antara tahun 7 hingga 66 Masehi, ternyata kaki terhukum tertekuk pada lututnya sehingga kedua tumitnya akan berada di bawah pantatnya. Kedua tumit kaki itu disejajarkan, lalu dipaku dengan sebilah paku besi pada batang salib. Tampaknya, itulah yang terjadi pada Tuhan tatkala di salib. Sudah tentu keadaan kaki yang tidak terentang lurus dan harus bengkok itu akan membuat kaki-Nya kejang dan kram.

Salib Kristus

Wayne Grudem menulis dalam majalah Decision (Maret, 1989) bahwa kematian di kayu salib merupakan kematian secara perlahan-lahan akibat kehabisan oksigen. Lengan yang direntangkan ke atas membuat terhukum sulit mengambil napas. Setiap kali ia ingin bernapas, ia pun terpaksa mengangkat tubuhnya sedikit dengan menggunakan kakinya. Pada saat tubuhnya sedikit terangkat, otot-otot di lengannya akan menjadi sedikit lemas dan keadaan ini akan memudahkannya menarik napas. Namun, gerakan ini akan menimbulkan rasa sakit di kakinya. Karena gerakan ini, berarti ia harus menumpukan berat tubuhnya pada kedua tumitnya yang terpaku di salib.

Penyaliban menimbulkan rasa sakit yang tidak terbayangkan, mulai dari proses pemakuan kaki dan tangan sampai pada menggantungkan tubuh pada kaki dan tangan yang dipaku. Setiap tarikan napas akan membuat terhukum merasa sakit luar biasa di urat saraf tangan dan kakinya. Selain itu, ia pun akan merasakan sakit karena setiap kali bernapas, ia harus menggesekkan punggungnya yang terluka akibat cambukan pada kayu salib yang kasar. Grudem menjelaskan bahwa ada kalanya terhukum akan hidup berhari-hari meski dalam kondisi setengah mati dengan rasa tercekik akibat kekurangan oksigen. Itulah sebabnya, serdadu Romawi biasanya mematahkan kedua kaki terhukum guna mempercepat kematiannya (crurifragium). Dalam kasus Tuhan Yesus, kedua kaki-Nya tidak dipatahkan karena kematian-Nya yang relatif cepat akibat penyiksaan yang dialami-Nya itu.

Penderitaan Kristus di kayu salib berlangsung selama kurang lebih enam jam; tetapi setiap menit dan detik, tubuh-Nya menderita sakit yang amat sangat. Kematian di kayu salib merupakan hukuman mati kekaisaran Romawi yang diperuntukan bagi para budak dan kriminal kelas berat yang bukan warga Romawi. Dengan kata lain, penyaliban merupakan hukuman mati yang terhina, sebab hanya diterapkan bagi mereka yang dianggap paling hina. Tuhan, pencipta alam semesta dan isinya, lahir secara terhina dan mati secara terhina pula. Semua ini dilakukan-Nya karena satu alasan saja, yakni untuk menebus dosa saya dan Saudara.

Negara Jerman telah melahirkan beberapa hamba Tuhan yang setia dan berpengaruh besar terhadap dunia kekristenan; Dietrich Bonhoeffer adalah salah satu di antara mereka itu. Pada masa perang dunia kedua, tatkala banyak gereja dan hamba Tuhan di Jerman berpihak pada Hitler, Bonhoeffer menentang dengan gigih. Kendati ia berkesempatan lari dan pernah bermukim di Amerika Serikat, ia tetap memutuskan untuk kembali ke Jerman. Pada April 1943, ia ditangkap dan dipenjarakan sekembalinya ke Jerman, dan dua tahun kemudian, ia dihukum gantung beberapa hari sebelum tentara sekutu datang membebaskan penjara tersebut. Usianya 39 tahun.

Pandangan-pandangan Bonhoeffer tajam dan tidak kenal kompromi. Di dalam bukunya, The Cost of Discipleship, ia menekankan bahwa musuh gereja yang paling berbahaya adalah anugerah murahan. Ia mengajak kita untuk memperjuangkan anugerah yang mahal. Baginya, anugerah murahan adalah anugerah sebagai doktrin, prinsip, dan sistem kepercayaan belaka. Anugerah murahan sama dengan pengakuan imani intelektual yang hampa dengan kehidupan mengikut Kristus. Bonhoeffer menegaskan bahwa anugerah murahan merupakan “pembenaran dosa” tanpa “pembenaran si pendosa itu sendiri” (justification of sin without the justification of sinner). Anugerah murahan sejajar dengan mengkhotbahkan pengampunan tanpa menuntut pertobatan hidup. Anugerah Allah gratis, tetapi tidak murahan. Gratis, dalam pengertian diberikan secara cuma-cuma karena terlalu mahal untuk dapat dibeli oleh manusia. Anugerah Allah mahal karena menuntut kematian Putra-Nya sendiri, dan kematian Kristus Putra Allah bukanlah kematian wajar. Kematian-Nya disebabkan dan diawali oleh penderitaan yang tidak terperikan. Kita mesti senantiasa mengingat bahwa penebusan dosa yang kita nikmati sekarang telah dibayar dengan harga yang sangat mahal. Kita tidak akan mampu membayarnya dan Tuhan pun tidak meminta kita membayarnya. Ia hanya minta kita hidup untuk-Nya, sebagaimana tersurat di Galatia 2:20, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”

Audio Penderitaan Kristus di Salib

Diambil dari:
Nama situs : Iman Reformed, Semangat Injili
Alamat situs : https://thisisreformed.wordpress.com/2009/02/26/penderitaan-kristus-di-kayu-salib-pdt-paul-gunadi/
Judul artikel : Penderitaan Kristus di Kayu Salib
Penulis : Pdt. Paul Gunadi
Tanggal akses : 19 Maret 2018
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA