Siapa Paulus Itu?

Dalam sejarah Perjanjian Baru sesudah kebangkitan Yesus, perhatian beralih dari Petrus dan para murid Yesus lainnya kepada seorang tokoh penting lain dalam kehidupan jemaat mula-mula - yakni Paulus, sang Farisi. Paulus bukan satu-satunya orang Farisi yang menjadi Kristen (Kisah Para Rasul 15:5), tetapi ia memang yang paling terkenal. Berbeda dengan banyak orang Kristen Yahudi lainnya, Paulus tidak lahir di Palestina. Sama seperti banyak orang yang bertobat pada hari Pentakosta, dia seorang Yahudi Helenis. Dia berasal dari kota Tarsus di provinsi Silisia, dan dia juga seorang warga negara Roma (Kisah Para Rasul 22:3,27).

Masa muda Paulus

Mungkin sekali ada dua masa yang berbeda dalam kehidupan Paulus sewaktu muda: masa kanak-kanak yang dihabiskannya di Tarsus, dan masa muda serta awal kedewasaan di Yerusalem. Kata "dibesarkan" dalam Kisah Para Rasul 22:3 dapat berarti ketika masih bayi Paulus pindah dari Tarsus ke Yerusalem. Namun, kebanyakan ahli berpendapat hal itu hanya mengacu pada pendidikannya. Paulus pulang ke Tarsus setelah pertobatannya (Kisah Para Rasul 9:30), jadi kelihatannya kota ini yang dianggapnya sebagai kampung halaman.

1. Tarsus

Walaupun Paulus pertama-tama dan terutama adalah seorang Yahudi, dia juga bangga terhadap Tarsus, yang merupakan kota pendidikan tinggi serta juga pusat pemerintahan dan perdagangan. Namun, dia tidak merasa senang dengan kebudayaan di kota itu yang bersifat Yunani dan kafir. Orang tua Paulus merupakan orang-orang Yahudi dan sekaligus menjadi warga negara Roma. Walaupun mereka berusaha melindungi Paulus dari pengaruh kafir sewaktu remaja, tetapi keadaan kota Tarsus membuat setiap anak yang cerdas terpengaruh oleh bahasa dan ide-ide kebudayaan Yunani yang kafir. Pengaruh itu tampak dalam tiga rujukan sastra Yunani oleh Paulus, yakni kepada penyair-penyair Epimenides (Kisah Para Rasul 17:28), Aratus (Titus 1:12) dan Menander (1 Korintus 15:33).

Sewaktu masih sangat muda, orang tua Paulus memutuskan dia harus menjadi seorang rabi (guru hukum Taurat). Sebagai seorang anak kecil di Tarsus, dia belajar tentang tradisi-tradisi umat Yahudi melalui pendidikan yang teratur di sinagoge setempat. Alkitabnya yang pertama kemungkinan besar adalah Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani.

Sewaktu tinggal di Tarsus, Paulus juga belajar membuat tenda, sebab setiap murid hukum Taurat dianjurkan mempelajari suatu keterampilan di samping menuntut ilmu. Hal ini sangat bermanfaat bagi Paulus pada kemudian hari, sebab dengan demikian dia sanggup memperoleh nafkah sendiri sewaktu melakukan pekerjaan misionernya.

2. Yerusalem

Paulus

Tidak lama kemudian, Paulus dikirim dari Tarsus ke pusat dunia Yahudi, yakni Yerusalem. Di Yerusalem, dia menjadi murid Rabi Gamaliel, yang merupakan cucu dan pengganti Rabi Hillel yang kesohor (kira-kira tahun 60 SM-20 M). Hillel telah mengajarkan suatu bentuk agama Yahudi yang lebih maju dan liberal, daripada saingannya, Syammai. Apa yang dikatakan Yesus tentang perceraian mungkin telah dicetuskan oleh pengikut-pengikut kedua rabi tersebut (Markus 10:1-12). Hillel menyatakan seorang lelaki dapat menceraikan istrinya kalau istrinya itu tidak menyenangkan dalam hal apa pun juga - misalnya jika dia memasak makanan sampai hangus! Namun, Syammai berpendapat perceraian hanya dibenarkan bila telah terjadi dosa moral yang berat. Apa yang Paulus sendiri tulis mengenai pokok tersebut menunjukkan bahwa dia mengubah pendiriannya setelah menjadi Kristen.

Namun, Paulus memperoleh sedikitnya satu manfaat besar dari pendidikannya menurut tradisi Hillel. Syammai berpendapat bahwa orang- orang bukan-Yahudi tidak mempunyai tempat di dalam rencana Allah. Sedangkan saingannya bukan saja menyambut mereka, tetapi secara positif telah pergi menginjili mereka. Mungkin Paulus pertama kali mendengar dari Gamaliel bahwa ada tugas besar yang perlu dikerjakan di antara bangsa-bangsa bukan-Yahudi di kawasan kekaisaran Roma.

Paulus mencatat kemajuan yang baik dalam studinya di Yerusalem. Menurut Paulus sendiri, dia seorang murid yang sangat berhasil (Galatia 1:14). Dia menjadi begitu penting, sehingga ketika orang-orang Kristen diadili oleh karena iman mereka, dia diberi hak "memberi suara" terhadap mereka, baik dalam jemaat sinagoge ataupun di dewan tertinggi orang Yahudi, yakni Sanhedrin (Kisah Para Rasul 26:10).

Demikianlah keterangan yang kita ketahui mengenai latar belakang dan pendidikan Paulus. Kita telah memberikan garis besar hidupnya sebelum dia bertobat. Sekarang kita harus menggali dan melihat apa yang dapat ditemukan tentang hidup masa mudanya, agar kita mengerti kepribadiannya yang rumit serta mempunyai dasar yang jelas untuk mengerti surat-suratnya.

Rupanya ada tiga pengaruh utama pada Paulus selama masa mudanya, yakni agama Yahudi, filsafat Yunani dan agama-agama rahasia.

Paulus dan agama Yahudi

Paulus sendiri tidak pernah menyebut pengaruh-pengaruh Yunani atau kafir, tetapi dia membuat banyak pernyataan tentang latar belakang serta pendidikan Yahudinya. Dia bangga akan kenyataan dia seorang Farisi yang baik. Kalau kita membaca surat-surat Paulus yang ditulisnya sebagai seorang Kristen, menjadi jelas dia tetap mempertahankan kepercayaan-kepercayaan terbaik yang diterima dari guru-gurunya. Salah satu saingan utama dari kaum Farisi adalah kaum Saduki. Kedua golongan tersebut masing-masing mewakili sayap liberal dan konservatif dari agama Yahudi. Pada setiap pokok pertikaian antara kedua golongan tersebut, Paulus mengutip dan sering memperbaiki pendirian kaum Farisi.

  • Kaum Farisi percaya sejarah mempunyai maksud dan tujuan. Mereka berpendapat Allah mengatur peristiwa-peristiwa menurut rencana-Nya sendiri, yang mencapai titik puncaknya dengan kedatangan sang Mesias yang akan memimpin umat-Nya. Ini sesuatu yang dapat diterima dengan baik oleh Paulus sebagai seorang Kristen. Dalam Roma 9-11, dia mengemukakan Allah mengatur jalannya sejarah dengan tujuan agar pada akhirnya orang-orang Yahudi diikutsertakan dalam persekutuan Kristen. Paulus berpikir sebagai seorang Farisi yang baik -- walaupun dia melangkah lebih jauh, sebab dia tahu Mesias telah datang dalam pribadi Yesus Kristus.
  • Kaum Farisi percaya akan hidup setelah kematian. Paulus menekankan hal tersebut demi keuntungannya sendiri ketika dia diadili di hadapan Sanhedrin (Kisah Para Rasul 23:6-10) dan Herodes Agripa II (Kisah Para Rasul 26:6-8). Namun, sebagai seorang Kristen, Paulus melangkah lebih jauh lagi. Dia yakin bahwa tidak seorang pun dapat menjamin adanya kebangkitan lepas dari kenyataan bahwa Yesus Kristus telah bangkit dari kematian.
  • Kaum Farisi percaya akan malaikat-malaikat dan setan-setan. Kaum Saduki tidak percaya akan hal-hal tersebut. Di sini juga Paulus mempertahankan kepercayaannya sebagai seorang Farisi, tetapi mengubahnya dalam terang Kristus. Di salib, Kristus telah menaklukkan kuasa-kuasa jahat. Oleh sebab itu, orang-orang Kristen "lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita" (Roma 8:37). Tidak seorang malaikat pun dapat menyaingi Tuhan yang telah bangkit, yang dilayani Paulus, dan yang di dalam-Nya "seluruh kepenuhan Allah berkenan diam" (Kolose 1:19).

    Bukan hanya dalam soal iman Paulus memperlihatkan pengaruh latar belakang Yahudinya. Cara dia menulis, dengan memakai ayat-ayat Perjanjian Lama untuk "membuktikan" pokok-pokok teologisnya, langsung diambil dari pendidikannya selaku seorang Farisi. Pembaca surat Paulus kepada jemaat di Galatia kadang-kadang merasa heran, atau bahkan geli, bila melihat cara Paulus menafsirkan beberapa nats Perjanjian Lama. Umpamanya, dia memakai metode tafsir yang biasa dipakai para rabi Yahudi sewaktu dia menyatakan janji-janji kepada Abraham ditujukan kepada satu orang, yakni Yesus Kristus, dengan alasan kata Yunani yang diterjemahkan "keturunan" berbentuk tunggal (Galatia 3:16). Seperti para rabi, Paulus kadang-kadang mengutip sepotong nats tanpa memperhatikan konteksnya, dan menggabungkan teks-teks yang diambil dari beberapa bagian Perjanjian Lama yang sama sekali berbeda dan tidak berkaitan.

    Namun, dalam satu pokok penting Paulus tidak mengikuti warisan Yahudinya. Kaum Farisi merupakan orang-orang legalistik. Mereka mewajibkan pemeliharaan secara rinci bukan hanya hukum Perjanjian Lama yang tertulis, tetapi juga hukum-hukum tradisional dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak berdasarkan otoritas Alkitab. Lebih daripada itu, mereka menyatakan bahwa orang-orang yang tidak memelihara semuanya itu, tidak pernah dapat memperoleh keselamatan penuh. Paulus telah mengalami keputusasaan secara total ketika dia berusaha menjadi seorang Farisi yang baik dan memelihara Taurat. Paulus tahu, dia tidak pernah dapat melakukannya. Sebab itu, dia tidak pernah dapat benar-benar mengenal Allah. Sewaktu lagi merasa optimis, dia pernah berkata, "tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat, aku tidak bercacat" (Filipi 3:6). Namun, dalam hatinya dia mengetahui ada kuasa yang lebih besar daripada kuasanya sendiri yang sedang bekerja dan mencegahnya untuk memelihara seluruh hukum Taurat. Bahkan keberhasilan yang dicapainya pun jauh dari memadai: "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat" (Roma 7:15). Semakin Paulus berusaha melakukan yang baik, ia menemukan bahwa semakin tidak mungkin dia melakukannya.

    Hanya karena dia seorang Farisi yang begitu setia, dia dapat menghargai apa yang telah dilakukan Allah bagi manusia dalam Yesus Kristus. Ajaran Farisi menjadi cermin di mana Paulus melihat kekurangan-kekurangannya sendiri yang begitu jelas dinyatakan sehingga dia nampaknya merupakan orang "yang paling berdosa" (1 Timotius 1:15). Namun dalam Yesus Kristus, dia melihat pencerminan dari apa yang dapat dicapainya oleh anugerah Allah yang diberikan secara cuma-cuma: "Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat ... telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging ... Jadi ... jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan- perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup ... Roh membantu kita dalam kelemahan kita" (Roma 8:3,12,13,26).

Paulus dan Para Filsuf

Di antara banyak aliran filsafat yang ada pada waktu itu, aliran Stoik mungkin yang paling serasi bagi Paulus. Satu atau dua filsuf Stoik besar berasal dari Tarsus, dan mungkin Paulus masih ingat sedikit tentang pengajaran mereka dari masa mudanya.

Beberapa ahli berpendapat pengetahuan Paulus tentang filsafat Stoik lebih dalam daripada itu. Pada tahun 1910, Rudolf Bultmann menunjukkan bahwa cara Paulus mengemukakan pendapatnya kadang-kadang menyerupai argumen-argumen Stoik. Kedua-duanya memakai pertanyaan retoris, pernyataan singkat yang berdiri sendiri, seorang lawan khayalan yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan banyak ilustrasi yang diambil dari dunia atletik, pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Malahan kita dapat menemukan frasa-frasa dalam pengajaran Paulus yang dapat dianggap mendukung ajaran Stoik; umpamanya pernyataannya, "segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia" (Kolose 1:16-17). Dalam pidato Paulus di Atena, Lukas melaporkan bahwa Paulus benar- benar mengutip Aratus, penyair Stoik yang terkenal (Kisah Para Rasul 17:28). Beberapa dari surat Paulus juga sering mencerminkan peristilahan Stoik -- seperti waktu dia menggambarkan moralitas dengan istilah "seharusnya" atau "sepatutnya" dan "tidak pantas". Tidak perlu disangsikan lagi bahwa Paulus mengetahui dan bersimpati terhadap banyak cita-cita Stoik. Namun, ada beberapa perbedaan yang hakiki dan penting antara kekristenan Paulus dan filsafat Stoik.

  • Filsafat Stoik didasarkan atas spekulasi-spekulasi filsafat mengenai sifat dunia dan manusia. "Ilah"-nya yang sebenarnya adalah akal manusia yang abstrak. Agama Kristen sangat berbeda, sebab dia dengan kokoh didasarkan pada fakta-fakta historis tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (1 Korintus 15:3-11).
  • "Ilah" Stoik adalah abstraksi yang samar-samar, kadang-kadang dihubungkan dengan seluruh alam semesta, kadang-kadang dengan akal, dan kadang-kadang malah dengan unsur api: "Tidak kita tahu ilah apa itu, tetapi ada ilah yang berdiam" (Seneca, Surat-surat 41.2, dikutip dari Virgil). Sebaliknya Allah yang dikenal Paulus adalah Wujud pribadi yang dinyatakan dalam Kristus: "Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia" (Kolose 1:19).
  • Para Stoik mau menemukan "keselamatan" dalam keswasembadaan. Mereka berusaha memperoleh penguasaan atas diri sendiri agar dapat hidup secara serasi dengan alam. "Tujuan hidup adalah untuk bertindak sesuai dengan alam, yakni sekaligus baik dengan alam yang ada dalam diri kita maupun dengan alam semesta .... Jadi kehidupan yang sesuai dengan alam adalah keberadaan yang bijak dan bahagia, yang dinikmati hanya oleh orang yang selalu berusaha memelihara keserasian antara setan di dalam pribadi dengan kehendak Kuasa yang mengatur alam semesta" (Diogenes Laertius vii.1.53). Bagi Paulus, keselamatan berbeda sekali dengan gagasan tersebut. Dia menemukan bahwa keselamatan tidak bergantung pada diri sendiri, melainkan dengan penyerahan diri kepada Yesus Kristus: "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Galatia 2:19-20).
  • Filsafat Stoik tidak mempunyai masa depan; melainkan merupakan agama keputusasaan. Kebanyakan orang dianggap tidak sanggup mencapai kedewasaan moral. Masa depan mereka adalah untuk dibinasakan di mana satu siklus sejarah dunia mengikuti siklus lainnya, hanya untuk dilahirkan kembali atau di-reinkarnasi -- begitu rupa sehingga seluruh siklus dapat diulangi. Agama Kristen bertentangan dengan hal ini, dan menyatakan bahwa dunia yang kita kenal pasti akan berakhir dengan campur tangan Kristus sendiri. Kemudian, akan tercipta suatu tata dunia yang sama sekali baru (1 Korintus 15:20-28).

Pengaruh Stoik terhadap Paulus haruslah dianggap sangat kecil saja. Setiap orang tidak luput dari pemakaian kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang dikenal dari konteks lain. Namun kalau Paulus memakai bahasa Stoik, maka dia memberikannya arti baru. Sebab berita Paulus tentang keselamatan melalui Kristus jauh berbeda dengan berita Stoik tentang keselamatan melalui penguasaan diri.

Paulus dan Agama-agama Rahasia

Sepintas lalu, ada beberapa kemiripan antara agama-agama rahasia dan agama Kristen. Keduanya datang ke Roma dari Timur. Keduanya menawarkan "keselamatan" kepada pengikut-pengikutnya. Keduanya memakai upacara penerimaan pengikut baru (baptisan Kristen) dan santapan sakramen (perjamuan kudus Kristen). Keduanya menyapa Allah penyelamatnya sebagai "Tuhan". Jika pengikut agama rahasia menjadi Kristen, maka terkadang kepercayaan-kepercayaan rahasia terbawa ke dalam jemaat. Mungkin peristiwa seperti inilah yang menjadi sumber persoalan di jemaat di Korintus, sehingga Paulus menulis surat-surat kepada jemaatnya.

Oleh karena adanya persamaan antara agama Kristen dengan agama-agama rahasia, beberapa ahli mengira Paulus mengubah ajaran Yesus yang sederhana menjadi semacam agama rahasia. Namun, tidak ada lagi ahli yang mempunyai pandangan semacam itu dewasa ini karena tidak ada bukti sejarah yang mendukungnya secara nyata. Bukti yang ada malah menunjukkan kebalikannya.

  • Agama-agama rahasia selalu bersedia, bahkan rindu, bergabung dengan agama-agama lain. Ini sesuatu yang selalu ditolak oleh orang-orang Kristen, karena percaya hanya mereka saja yang memiliki seluruh kebenaran yang dinyatakan oleh Kristus.
  • Banyak bukti yang dahulu menunjukkan bahwa Paulus seorang penganut agama rahasia sekarang dianggap palsu. Umpamanya, gelar "Tuhan" yang dipakai untuk Yesus, sekarang ternyata diambil bukan dari agama-agama rahasia melainkan dari Perjanjian Lama. Pengakuan iman Kristen "semoga Tuhan kita datang" (yang ditulis dalam bentuk Aram, Maranata; 1Korintus 16:23) menunjukkan bahwa jemaat mula-mula di Yerusalem -- satu-satunya jemaat yang berbahasa Aram -- rupanya telah memberikan gelar itu kepada Yesus jauh sebelum munculnya Paulus.
  • Apa yang mengesankan bagi dunia kafir bukanlah kemiripan agama Kristen dengan agama-agama lain, melainkan perbedaannya. Tuduhan yang paling sering dilontarkan terhadap orang-orang Kristen adalah mereka ateis, sebab tidak mau mengakui ilah-ilah lain.

Tentu Paulus mengenal agama-agama rahasia, dan kemiripannya dengan agama Kristen. Mereka menceritakan tentang dewa-dewa yang turun dalam bentuk manusia; tentang keselamatan sebagai "mati" terhadap hidup yang lama; tentang seorang dewa yang memberikan hidup kekal; dan tentang dewa penyelamat yang dipanggil "tuhan". Ada kemungkinan Paulus, yang siap "menjadi segala-galanya bagi semua orang" (1 Korintus 9:22), kadang-kadang dengan sengaja memakai ragam bahasa mereka. Namun, kemungkinan besar dia memakainya secara tidak sadar. Sebab orang-orang terpelajar dari zamannya memakai bahasa agama-agama rahasia dengan mudah dan tanpa ikatan, sama seperti kita sering memakai bahasa astrologi populer dewasa ini. Paulus tidak menunjukkan bahwa dia memiliki pengetahuan secara rinci tentang agama-agama rahasia. Dia tidak pernah menyebut upacara-upacara mereka secara jelas.

Latar belakang Paulus meliputi tiga dunia pemikiran: dunia Yahudi, dunia Yunani, dan dunia agama rahasia. Masing-masing dunia ini dapat memberikan sekadar keterangan tentang kepribadian dan pengajarannya. Namun, kita akan khilaf bila menganggap Paulus hanyalah produk alami dari lingkungan kebudayaannya. Dia menganggap dirinya sendiri terutama sebagai "seorang di dalam Kristus" (2 Korintus 12:2) atau seorang Kristen. Apa pun yang diperolehnya dari sumber sumber lain, dia mengakui bahwa Tuhannya yang baru mempunyai kuasa yang melebihi mereka semua, dan demi Kristus dia menganggap yang lainnya sebagai "sampah" (Filipi 3:8).

Diambil dari:
Judul buku : Memahami Perjanjian Baru
Pengarang : John Drane
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996
Halaman : 289 - 296
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA