Menaklukkan Kematian Melalui Kematian

Kematian bukan realita yang termasuk dalam rancangan penciptaan Allah. Kehadiran maut dalam sejarah perjalanan hidup manusia tidak disebabkan oleh tindakan kreasi Allah. Alkitab menyaksikan bahwa pada mulanya semua ciptaan Allah dilingkupi oleh hal yang sangat positif. Kebaikanlah yang menopang segenap hasil ciptaan-Nya. Kalimat yang berbunyi Allah melihat bahwa semuanya itu baik tercatat sebanyak 5 kali dalam Kitab Kejadian 1.

Setelah mengakhiri seluruh tahapan maha karya ciptaan yang agung, Kejadian 1:31 menyimpulkan, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Penilaian dari sang Pencipta terhadap pekerjaan tangan-Nya ini menandakan bahwa kematian sebagai dimensi negatif, selaku antitesis dari kebaikan tidak mendapat bagian dalam tatanan awal penciptaan. Dari mana kematian berawal mula? Jawabannya dapat ditemukan pada diri manusia, mahkota ciptaan Allah yang dijadikan menurut gambar dan rupa sang Khalik. Tujuan Allah menciptakan manusia adalah agar mereka bisa menjadi rekan sekerja Allah dalam mengelola dan memelihara bumi dan segala isinya. Sebagai partner kerja Allah, yang dituntut dari manusia hanyalah sikap bergantung dan taat pada perintah Allah. Jangan memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat menjadi satu-satunya larangan yang tidak boleh dilanggar oleh Adam dan Hawa. Larangan ini sangat serius, sebagaimana terlihat dari konsekuensi yang menyertainya: pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati (Kejadian 2:17). Rupanya manusia tidak mengindahkan larangan ini.

Godaan untuk menjadi seperti Allah menurut perkataan si ular itu telah menguasai hati Hawa dan Adam sehingga pelanggaran pun terjadilah. Drama kehidupan di Taman Eden mengalami perubahan drastis ketika terjadi peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pemberontakan mereka dalam bentuk ketidak-taatan terhadap firman Allah telah membuka pintu bagi masuknya kondisi tragis yang merugikan diri manusia itu sendiri. Sejak saat itulah kematian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan seluruh keturunannya. Hidup manusia selalu berdampingan dengan realita kematian sebagai kutukan terhadap keberdosaannya (Kejadian 3:19). Hukuman ini tidak dapat dihindari dan telah menjadi nasib yang menentukan sejarah keberadaan manusia. Di mana kehidupan bermula maka kehidupan itu pasti akan diakhiri dengan kematian. Dalam kondisi suram yang menyelimuti eksistensi manusia seperti ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu hidup untuk mati (to live is to die).

Alkitab memperkenalkan tiga jenis kematian. Secara kronologis, yang pertama kali menimpa Adam dan Hawa pada saat mereka makan buah yang dilarang tersebut adalah kematian rohani. Persekutuan rohani yang akrab dengan Allah telah berganti menjadi ketakutan yang menyebabkan manusia itu bersembunyi dari kehadiran-Nya (Kejadian 3:8-10). Hubungan yang indah antara Allah dan manusia terputus, terhalang dan terpisah oleh dosa pemberontakan. Apa yang terjadi pada Adam dan Hawa juga merupakan kenyataan yang dialami oleh keturunan mereka. Setiap individu yang lahir ke dalam dunia ini adalah satu pribadi yang berada pada kondisi mengalami kematian rohani, karena semua orang adalah insan berdosa sejak dari dalam kandungan (Mazmur 51:7). Kematian kedua yang menghampiri manusia adalah kematian jasmani. Keterpisahan antara roh sebagai prinsip kehidupan dengan tubuh menjadi tanda bahwa waktu hidup manusia di dalam dunia sudah berakhir. Dosa menyebabkan kehidupan yang dihayati melalui keberadaan tubuh jasmani ini menjadi fana atau bersifat sementara. Kehidupan semua orang pasti akan menjumpai titik perhentian dengan hilangnya nafas hidup dari sistem pernafasan mereka. Tubuh kita yang dibentuk dari debu harus menyatu kembali dengan debu. Begitulah ketentuan akhir dari setiap kehidupan secara jasmaniah. Selanjutnya, yang ketiga adalah kematian kekal yaitu suatu kondisi keterpisahan yang bersifat selama-lamanya dengan Allah sumber kehidupan. Setiap manusia pasti tidak dapat menghindar dari kematian rohani dan jasmani. Kita semua mengalaminya tanpa ada kekecualian. Namun terhadap kematian kekal ini, manusia diberi kemungkinan untuk tidak mengalaminya. Syaratnya adalah bila orang berdosa yang mati secara rohani telah mendapatkan kehidupan rohani melalui imannya kepada Tuhan Yesus. Dengan demikian, kematian kekal pada dasarnya adalah suatu potensi yang akan menjadi realita bagi orang berdosa yang tidak menerima anugerah pengampunan dari Kristus. Tawaran untuk terbebas dari kematian kekal diberikan kepada semua orang berdosa. Bagi mereka yang menaruh harapannya melalui iman terhadap Tuhan Yesus, kehidupan kekallah yang akan didapatkan. Sebaliknya, bagi mereka yang menolak untuk percaya kepada-Nya, kematian kekallah yang telah menanti. Di dalam keberdosaannya, manusia adalah hamba dari maut.

Paulus mengatakan, maut telah berkuasa dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa juga atas mereka, yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang telah dibuat oleh Adam (Roma. 5:14). Jika manusia adalah hamba, maka kematian tidak lain adalah tuan yang berkuasa atas diri manusia. Kekuasaan maut bersifat universal, melampaui batasan ruang dan waktu. Ini terlihat dari kenyataan bahwa sejak dulu sampai sekarang bahkan hingga ke masa yang akan datang, semua insan yang hidup di muka bumi ini telah, sedang dan akan ditaklukkan oleh sengat maut tanpa ada seorang pun yang mampu menentangnya. Ketidakmampuan untuk melawan maut ini tidak lain karena ôàsemua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Ada hubungan timbal balik antara dosa dan maut. Sebab itu, sifat ke-universal-an kematian juga sekaligus menjadi bukti yang kuat dan tak terbantahkan tentang universalitas dosa. Di mana ada dosa, di sana ada kematian, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh firman Tuhan bahwa upah dosa ialah maut (Roma 6:23). Pengalaman hidup manusia menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang menyukai maut. Kehadirannya selalu mendatangkan kesedihan yang mendalam karena ada keterpisahan yang terjadi. Orang-orang yang dikasihi harus berakhir eksistensinya, melayang lenyap ditelan oleh kekelaman maut sehingga mereka menjadi absen dalam percaturan hidup sehari- hari. Dalam kaitan ini, sangatlah tepat bila Paulus menyebut kematian sebagai musuh dalam kehidupan manusia (1 Korintus 15:26). Berhadapan dengan maut, manusia selalu terhempas ke dalam kondisi yang "helpless" dan "hopeless". Adakah kemungkinan di mana keadaan suram ini dapat diubah? Apakah masih ada yang bisa menolong manusia untuk terbebas dari jerat kematian sehingga terbitlah fajar pengharapan di balik kelamnya kabut kematian? Iman kristen memberikan jawaban definitif terhadap pertanyaan ini.

Kehadiran sang Juru Selamat, Yesus Kristus telah menyinarkan terang pengharapan yang tidak pernah akan redup, sebab Ia datang untuk ...menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Matius 1:21). Konsep keselamatan dalam iman kristen bersifat multi dimensional. Ada banyak istilah untuk menggambarkannya. Kita mengenal kata pendamaian, pembenaran, penebusan, penggantian, kelahiran baru dan banyak lagi lainnya. Semua istilah ini sarat dengan makna teologis yang memperkaya pengertian tentang keselamatan dari Allah. Tempat tidak mengizinkan untuk menjelaskan semuanya. Kita hanya akan membahas tentang konsep keselamatan sebagai upaya pembebasan dari penindasan maut. Bagi Tuhan Yesus, keselamatan berarti perpindahan posisi dari dalam maut ke dalam hidup (Yohanes 5:24). Dari sudut pandang teologis, konsep tentang maut berseberangan tajam dengan konsep mengenai hidup. Pada dasarnya kontras yang ada antara kematian dan kehidupan merupakan cerminan dari realita pertentangan antara keberdosaan dan keselamatan. Sebagaimana dosa senantiasa melahirkan kematian demikian pula sebaliknya keselamatan selalu membuahkan kehidupan. Dengan latar belakang pemikiran seperti ini, maka keselamatan tidak lain adalah kemerdekaan bagi manusia yang selama ini berada di bawah kuasa penjajahan kematian. Orang berdosa yang mengalami anugerah keselamatan berdasarkan imannya kepada Kristus adalah mereka yang sudah dibebaskan dari kematian rohani sehingga memiliki kehidupan secara rohani (Efesus 2:4-5). Dan kehidupan rohani inilah yang menjadi landasan untuk dapat terbebas dari kematian kekal (Yohanes 3:36). Walaupun orang beriman tidak terluput dari kematian jasmani, tetapi di dalam Kristus kematian fisik mendapat makna baru, yaitu sebagai pintu gerbang yang membawa manusia untuk berada di rumah Bapa dan menikmati hidup kekal yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:2-3).

Semua berkat keselamatan di atas yaitu kehidupan rohani dan kehidupan kekal hanya akan ada bila kematian bisa ditaklukkan. Selama maut masih tetap menjadi realita yang berkuasa, selama itu juga manusia berdosa tidak akan memiliki pengharapan keselamatan. Bagaimana maut dapat dikalahkan? Bukankah seluruh manusia telah berada di bawah cengkeramannya? Pembebasan tidak terjadi dari pihak manusia melainkan dari pihak Allah. Ia memiliki cara yang unik untuk berperang melawan maut. Inkarnasi Anak Allah menjadi manusia sehingga dapat mengalami kematian dan kebangkitan adalah jawaban yang paling tepat terhadap pertanyaan bagaimana maut bisa ditaklukkan. Kematian yang sudah berkuasa di sepanjang sejarah hidup manusia akhirnya menemui ketidakberdayaannya ketika berhadapan dengan kematian Yesus Kristus. Secara alamiah, kuburan semua manusia selalu dalam keadaan terisi, sungguh suatu indikasi yang jelas akan betapa powerless-nya kita terhadap kematian. Tetapi Kristus menjawab kematian dengan kuburan kosong, suatu realita supra-alamiah yang membuktikan kemenangan dan tidak berkuasanya maut terhadap diri-Nya. Kebangkitan Kristus dari antara orang mati menyingkapkan bahwa kematian telah ditaklukkan melalui kematian-Nya. Mengapa demi untuk menyelamatkan manusia berdosa, Yesus Kristus harus mengalami kematian? Kenapa perlu serepot ini? Tidak lain adalah supaya lewat kematian-Nya dapat terproklamasi satu fakta sejarah yang baru yaitu ternyata maut tidak mampu membelenggu kuasa kehidupan dari Anak Manusia. Daya kehidupan Kristus demikian berkuasa sehingga kematian yang selama ini begitu berkuasa akhirnya harus mengakui kedahsyatan kuasa kebangkitan Tuhan kita. Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia (Roma 6:9).

Realita yang sangat penting dan merupakan dampak dari peristiwa kebangkitan Kristus adalah hadirnya potensi bagi terciptanya sejarah baru dalam kehidupan manusia di mana mereka dimungkinkan untuk bisa menjadi sang penakluk maut dan bukan lagi sebagai hamba yang selalu ditaklukkan oleh kematian. Kebangkitan Kristus dari kematian telah memberikan warna dan pengharapan baru bahwa tidak seterusnya maut bisa menjadi tuan atas hidup manusia. Kesempatan telah terbuka bagi manusia untuk dapat menjadi pemenang terhadap dominasi kuasa kematian. Paulus mengatakan, Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus (1 Korintus 15:22). Di ayat ini ada kata kunci yang sangat krusial yang dapat mengubah dan membebaskan status manusia dari hamba maut menjadi penakluk maut. Kata tersebut adalah persekutuan dengan Kristus. Bila kita adalah orang yang sudah memiliki persekutuan secara pribadi dengan Tuhan Yesus melalui iman kepada-Nya, tentulah kuasa kebangkitan-Nya akan memampukan kita untuk mengalahkan cengkeraman dari sengat kematian.

Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa kematian dan kebangkitan Kristus telah menjadi fondasi bagi keselamatan manusia berdosa. Karena itu, iman yang menyelamatkan selalu harus iman yang tertuju pada Kristus yang pernah mati dan bangkit dari kematian. Melalui kematian-Nya di atas kayu salib, Kristus sudah berperan menjadi sang pengganti yang menanggung hukuman terhadap dosa manusia di mana selayaknya setiap orang berdosalah yang seharusnya mendapatkan hukuman itu. Kita bisa terbebas dari hukuman karena ada Kristus yang mati terhukum bagi kita. Di samping itu, kebangkitan-Nya dari kematian juga memberikan jaminan yang pasti bahwa kita tidak akan dicampakkan dalam kebinasaan melainkan akan mengalami kebangkitan tubuh untuk hidup dalam persekutuan yang kekal dengan Kristus. Kebangkitan tubuh adalah pengharapan mulia dalam iman kristen yang menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuan atas hidup kita dan bukan maut. Tatkala manusia berhadapan dengan kematian, hanya ada dua kemungkinan yang terbuka baginya, yaitu ditaklukkan atau menaklukkan maut. Iman kepada Kristus dapat membebaskan kita dari perhambaan kuasa maut. Bersama dengan Kristus, kita dapat menjadi sang penakluk maut. Bagaimana dengan Anda? Penakluk atau yang ditaklukkan oleh kematian? Selamat Paskah!

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama situs : GKA Gloria
Judul Artikel : Menaklukkan Kematian Melalui Kematian
Penulis : Ev. Jon Hendri Foh
Alamat URL : http://gkagloria.or.id/artikel/ap04.php
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA