Manusia Berdosa

1.  Kejatuhan Manusia

Kejadian 3:1-7 mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia, dan ada juga banyak lagi bahan Alkitab yang mengacu pada kejatuhan manusia ini (lihat akhir pasal ini). Lagi pula, terlepas dari acuan-acuan eksplisit itu, kejatuhan merupakan bagian integral dari seluruh berita Alkitab. Ada berapa tafsiran kisah kejatuhan yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pandangan harfiah melihat kisah dalam Kitab Kejadian sebagai tulisan sejarah. Inilah pandangan yang diterima secara umum di gereja selama berabad-abad dan masih terus dibela oleh banyak pendukung. Namun, akhir-akhir ini timbullah pendapat-pendapat yang lain. Kedua, pandangan mitologis menolak adanya sedikit pun unsur sejarah. Pandangan ini menganggap cerita dalam kitab Kejadian sebagai suatu gambaran religius yang menyampaikan kebenaran-kebenaran penting tentang manusia dan kondisi moralnya. Dengan demikian, cerita Kejadian bukan mengenai asal dosa melainkan mengenai hakikatnya. Memang ada unsur kebenaran dalam pandangan ini dan dalam Roma 1:1-32 Paulus sedikit banyak menggunakannya ketika ia menggambarkan dosa dan pemberontakan di dunia bukan Yahudi pada zamannya. Namun, pandangan ini bukanlah arti utama dari Kejadian 3:1-24 karena menolak adanya unsur sejarah dan ini jelas tidak sejalan dengan penulis-penulis Alkitab kemudian. Ketiga, pandangan "historis" menegaskan bahwa -- walaupun Kejadian 2:1-3:24 tidak selalu dapat ditafsirkan secara harfiah -- tetapi jelas peristiwa-peristiwa diceritakan di dalamnya yang dibatasi oleh waktu dan ruang. Alkitab berbicara tentang kejatuhan sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Roma 5:12-13), memberi lokasi taman Eden secara cukup jelas (Kej. 2:10-14) dan menempatkan Adam pada garis sejarah yang berlanjut sampai pada Abraham dan Israel (Kej. 4:1; 5:4; Kej. 11:27; Luk. 3:38). Jadi, kejatuhan merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah moral umat manusia. Untuk menafsirkan perikop yang sangat penting ini dengan tepat, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

A. Ada kesulitan dalam memakai bahasa sehari-hari kita dengan keadaan sebelum kejatuhan, karena semua bahasa dibentuk oleh pengalaman sejak kejatuhan. Begitu pula, tentang waktu pengaruh-pengaruh kejatuhan itu ditiadakan oleh kedatangan kembali Kristus, Alkitab sekali lagi menggunakan semacam simbolisme untuk menggambarkan situasi masa mendatang (Why. 21:1-22:21).

B. Berkouwer mengemukakan bahwa kejatuhan tidak mungkin dipahami sepenuhnya kalau kita tidak mengakui keterlibatan pribadi kita dalam peristiwa menyedihkan itu. Sekalipun prinsip ini tidak perlu menghambat segala pembahasan tentang sifat kejatuhan, tetapi sebaiknya kita hindari pendekatan yang terlalu teoritis.

C. Para evolusionis sering menolak gagasan tentang dosa dan argumen-argumen Kristen lain yang terkait. Akan tetapi, orang percaya sekurang-kurangnya dapat melihat bahwa sekali kegagalan moral manusia diakui (dan bukti empiris bagi kegagalan itu cukup besar!) maka kecenderungan dalam manusia itu harus ada titik pangkal dalam waktu. Telah terjadi suatu tindakan pemberontakan pertama yang melawan norma-norma moral yang diketahui, dalam hal ini kehendak Allah. Oleh sebab itu, asal dosa dapat ditempatkan dalam waktu dan dihubungkan dengan keseluruhan rangkaian peristiwa manusia.

D. Dalam Roma 5:12 (bandingkan 1 Kor. 15:22), Paulus menggunakan kejatuhan sebagai tema pengiring penjelasan rinci mengenai karya penyelamatan Kristus. Pengaruh "satu" (yaitu "yang pertama") dosa Adam (Roma 5:16,18) ditiadakan oleh "satu perbuatan kebenaran" (Roma 5:18) Kristus dengan kematian-Nya bagi orang berdosa (bandingkan Roma 3:25; 4:25; 5:8). Tidak mungkin mempertahankan analogi antara perbuatan Adam dan perbuatan Kristus jika kejatuhan tidak diterima sebagai peristiwa dalam waktu dan ruang.

2. Sifat Serta Jangkauan Dosa

A. Sifat Dosa

Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah pemberontakan manusia terhadap Allah dan jawaban-Nya yang penuh anugerah. Istilah-istilah alkitabiah serta berbagai corak artinya dapat dicari dalam ensiklopedi Alkitab. Di sini, kita cukup mencatat kata-kata utama dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diterjemahkan sebagai "dosa". Istilah paling lazim dalam Perjanjian Lama adalah khattat (misalnya Kel. 32:30) serta istilah akar kata khet (Mzm. 51:11). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan tentang pikiran yang tidak mengenai sasaran atau membuat salah. Pesha (Amsal 28:13) mempunyai arti pemberontakan aktif, dosa atau pelanggaran terhadap kehendak Allah. Syaga (Im. 4:12) mengungkapkan tentang pikiran yang memilih jalan sesat. Awon (1 Raj. 17:18) berkaitan dengan bentuk yang berarti memutar, dan mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan dosa. Kata utama untuk dosa dalam Perjanjian Baru hamartia (Mat. 1:21). Kata ini juga mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. Adikia (1 Kor. 6:8) berarti ketidakjujuran atau ketidakadilan. Parabasis (Roma 4:15) mengenai pelanggaran hukum. Anomia (1 Yoh. 3:4) juga berarti tidak mempunyai hukum. Asebeia (Tit. 2:12) mengandung arti kuat mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan ptaio lebih berarti tergelincir secara moral (Yak. 2:10). Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bandingkan Mzm. 51:6; Roma 8:7; Yak. 4:4). Setiap usaha untuk mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat penciptanya, "kamu akan menjadi seperti Allah ...." (Kej. 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bandingkan Fil. 2:6), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya dalam kasih. Dengan sikap menghujat, ia menahan dirinya dari ibadah dan kasih yang memuja, yang merupakan tanggapan manusia yang wajar terhadap Allah. Ia memberi penghormatan kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.

B. Jangkauan Dosa

Dosa itu universal. "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak" (Roma 3:10; bandingkan Roma 3:1-10,23; Mzm. 14:1). Hanya Yesus Kristus yang hidup sebagai orang "tidak berdosa" (Ibr. 4:15). Penilaian alkitabiah ini cukup banyak dibenarkan oleh antropologi sosial dan pengalaman umum.

Dosa itu menyeluruh bukan hanya secara geografis, tetapi memengaruhi setiap manusia secara keseluruhan:

Keadaan ini menurut tradisi disebut "kerusakan total" (total depravity). Ini tidak berarti bahwa taraf kejahatan setiap manusia sudah maksimal, yang akan membuatnya setara dengan setan, tetapi bahwa tidak satupun dari segi watak yang luput dari pengaruh dosa. Tidak ada satu segi dari kepribadian manusia yang dapat dikemukakan untuk menyatakan diri benar.

Kenyataan bahwa orang sewaktu-waktu berpikir, berbicara atau bertindak dengan cara yang relatif "baik" (Luk. 11:13; Roma 2:14-15) tidak membantah kerusakan total, karena "baik" ini bukanlah kebajikan sepenuhnya sepanjang hidup yang memungkinkan kita menghadap kepada Tuhan. Tidak ada "suaka alam" dalam pribadi manusia, tempat "keadaan asli" manusia tetap terpelihara. Kita jatuh secara total dan sebab itu memerlukan penebusan secara total.

Alkitab juga mengajarkan mengenai kerusakan total dengan mengatakan bahwa dosa telah mempengaruhi inti manusia. Hati (Ibr. lev) adalah hakikat seseorang, yang telah disesatkan oleh dosa. Kita ingat pernyataan Yesus, "dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan.... Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang" (Mrk. 7:21-23; bandingkan Kej. 6:5; Yer. 17:9; Roma 3:10-18; 7:23). Justru karena "kerusakan total" dalam arti alkitabiah ini, manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Kerusakan total berarti "ketidakmampuan total".

a. Penyebaran Dosa: Dosa warisan

Hubungan antara ketidaktaatan Adam dan dosa manusia selanjutnya adalah persoalan dosa warisan. Alkitab mengajarkan bahwa dosa Adam melibatkan seluruh umat manusia. Dalam Roma 5:12 Paulus menegaskan bahwa melalui ketidaktaatan Adam, dosa dan kematian menjadi kenyataan bagi semua orang "karena semua orang telah berbuat dosa" artinya karena mereka semua berdosa di dalam dosa Adam (Roma 5:14-19; 1 Kor. 15:22). Ada dua penjelasan tradisional mengenai hal ini.

"Realisme" menafsirkan kata- kata Paulus dalam Roma 5:12 secara harfiah. "Semua orang telah berbuat dosa dalam Adam" berarti bahwa semua hadir dan terlibat ketika Adam berbuat dosa. Sifat manusia umum yang universal, yang meliputi sifat pribadi semua orang, dengan satu atau lain cara hadir "dalam Adam" sehingga ketika ia berbuat dosa setiap orang berdosa dengan dia (bandingkan Roma 7:4-10; Lewi ada "dalam tubuh" bapa leluhurnya, Abraham). Tafsiran ini adalah usaha menghindari kesewenangan dalam penafsiran dosa warisan. Namun, terlepas dari kesulitan dalam mengerti apa yang dimaksud dengan gagasan sifat manusia umum, kita masih diperhadapkan dengan kesulitan yang disebabkan oleh dampaknya bagi kemanusiaan Kristus. Jika kemanusiaan Kristus bukan bagian dari umat manusia secara umum dan universal di dalam Adam, maka kesatuannya yang hakiki dengan manusia terancam. Sebaliknya kalau Ia termasuk di dalamnya, itu berarti bahwa Ia juga turut dalam kejatuhan.

"Federalisme" mengingat perbandingan yang diadakan antara Adam dengan Kristus (Roma 5:12-19; 1 Kor. 15:22,45-49), dan menerangkan bahwa solidaritas universal kita dengan Adam adalah sejenis dengan solidaritas Kristus dengan mereka yang Ia tebus, yaitu sebagai wakil, atau kepala federal. Zaman sekarang istilah federal biasanya berarti suatu sistem politik tertentu. Secara teologis istilah ini, yang artinya diturunkan dari kata Latin, foedus "perjanjian", berarti "sesuai perjanjian". Perjanjian Allah dengan Adam, yang sering disebut "perjanjian perbuatan", dilanggar oleh Adam dengan dosanya dan membawa akibat yang mengerikan bagi mereka yang ia wakili atau kepalai. Dalam Kristus, perjanjian ini diperbarui dan di bawahnya kebajikan-Nya yang sempurna menjadi jalan berkat dan penyelamatan bagi mereka yang Ia wakili atau kepalai (Kej. 2:15-17; Yer. 31:31; Roma 3:21-31; 5:12-12; 1 Kor. 11:25). Prinsip yang berlaku dalam kedua hal itu sama:

  • oleh persatuan dengan Adam sebagai kepala perwakilan manusia, kita menjadi orang berdosa; dan
  • oleh persatuan dengan Kristus melalui iman, kita menjadi benar.

Prinsip ini jangan dianggap sewenang-wenang, seolah-olah manusia dihukum untuk dosa yang tidak diperbuatnya. Allah yang adil menyatakan seluruh dunia bersalah di hadapan-Nya (Roma 3:19) dan hal itu cukup nyata dalam dosa-dosa yang diperbuat baik oleh orang Yahudi maupun oleh yang bukan Yahudi (Roma 1:18-3:8). Tentu ada kaitan dengan dosa warisan "dalam Adam" (Roma 5:12), tetapi Alkitab umumnya mengaitkan penghakiman terakhir manusia dengan perbuatan-perbuatannya yang tidak memenuhi syarat Allah dan bukan terutama dengan persatuannya dengan Adam (misalnya Mat. 7:21-27; 13:41; 25:31-46; Luk. 3:9; Roma 2:5-10; Why. 20:11-14).

b. Pengaruh Dosa

Kejatuhan ke dalam dosa mempunyai pengaruh luas sekali bagi masing-masing bagian manusia yang diuraikan dalam pasal terdahulu.

1. Dalam Hubungan dengan Allah

Inilah inti dari segala dampak dosa yang diuraikan secara rinci di bawah. Dalam hubungannya dengan Allah, dosa berarti beberapa hal.

Pertama, kita tidak layak untuk menghadap kepada Allah. Pengusiran Adam dari Taman Eden adalah ungkapan secara geografis dari pemisahan spiritual manusia dari Allah, serta ketidaklayakan untuk menghadap Dia dan menikmati keakraban dengan Dia (Kej. 3:23). Tempat kehadiran-Nya menjadi tempat yang menakutkan; pedang yang bernyala-nyala yang menutup jalan kembali ke Eden melambangkan kebenaran mengerikan bahwa dalam dosanya, manusia menghadapi pertentangan dan perlawanan Allah, yaitu murka Allah yang kudus (Kej. 3:24; Mat. 3:7; Roma 1:18; 1 Tes. 1:10). Dibandingkan dengan murka Allah, semua ketakutan dan kekhawatiran manusia hanya seperti mimpi buruk saja; segala kebutuhan yang lain, betapa pentingnya atau besarnya pun memudar sampai terasa tidak penting lagi.

Kedua, kita tidak sanggup melakukan kehendak Allah. Walaupun Allah memanggil dan memerintah manusia dan menawarkan kepada kita jalan kehidupan dan kebebasan, kita tidak sanggup lagi menjawab panggilan-Nya sepenuhnya. Manusia tidak bebas lagi untuk menyesuaikan diri dengan rencana Allah dan telah menjadi budak dosa (Yoh. 8:34; Roma 7:21-22).

Ketiga, kita tidak benar di hadapan Allah. Kegagalan untuk mematuhi kehendak atau hukum Allah mempunyai dampak lanjut yang serius bahwa manusia sudah di bawah kutukan hukum, rasa bersalah dan penghukuman yang makin bertambah bagi pelanggar hukum (Ul. 27:26,28; Roma 3:19; 5:16; Gal. 3:10).

Keempat, kita tidak peka lagi terhadap firman Allah. Allah berbicara melalui ciptaan, melalui hukum moral, melalui bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan gereja dalam Perjanjian Baru, dan di atas segala-galanya melalui firman-Nya, baik yang menjelma maupun yang tertulis. Dalam keadaan berdosa manusia hanya mendengar secukupnya sehingga tidak beralasan untuk tidak percaya, tetapi tidak cukup untuk benar-benar mengerti jalan dan kehendak Allah. Pada akhirnya, dosa membawa manusia pada keadaan tidak mengenal Allah dan tidak sanggup mengerti hal-hal mengenai Roh.

Pengaruh-pengaruh dosa ini nyata dalam keangkuhan manusia. Manusia menentang pemerintahan Allah dan menentukan diri sebagai penguasa, membuat diri sebagai patokan realitas, dan akal serta pengalaman adalah patokan kebenaran. Manusia menyatakan kekuasaan atas dunia dan memikul tanggung jawab atas masa depan ras. Keangkuhan yang paling parah berbentuk perasaan seperti raksasa yang serba bisa, yang membuat manusia seperti di Babel memanjat ke arah surga dengan maksud merendahkan Allah (bandingkan Kej. 11:1-9; 2 Tes. 2:4).

Dalam lingkungan keagamaan, keangkuhan ini diungkapkan sebagai pembenaran diri. Manusia menentukan norma-norma bagi dirinya dan membenarkan diri menurut norma-norma tersebut. Ia mencari-cari alasan bagi dosa dan merasa yakin di hadapan Allah karena prestasi-prestasi moral dan religiusnya.

Namun, manusia tidak luput dari Allah. Hubungan yang terputus nyata sebagai ketakutan kepada Allah; bukan sikap rendah hati dari orang yang beriman (bandingkan Ul. 10:12), tetapi sikap ketakutan seorang buronan yang lari dari Allah yang tidak ditaatinya. Rasa takut ini dapat mendorong orang untuk mencari ilah pengganti yang tidak menyingkapkan kesalahannya. Ada yang menolak eksistensi Allah secara teori (ateisme), ada lagi yang menganut suatu paham alternatif seperti Marxisme dan melibatkan diri dalam aktivitas yang tidak ada henti- hentinya. Namun, sebenarnya semua itu hanya untuk bersembunyi dari Allah (seperti Adam dan Hawa di Eden) dan menghindari keseraman apabila harus berdiri di hadapan Allah dengan kesalahannya terpampang di depannya.

2. Dalam Hubungan dengan Sesamanya

Putusnya hubungan dengan Allah langsung mempengaruhi hubungan manusia dengan sesamanya. Adam menuduh Hawa dan mempersalahkannya mengenai kelakuannya sendiri (Kej. 3:12) dan kisah kejatuhan segera disusul dengan laporan pembunuhan Habel (Kej. 4:1-16). Manusia yang melawan Allah juga adalah manusia yang melawan sesamanya sebagai orang asing dan musuh, sebagai ancaman bukan teman.

Dosa membawa konflik dan menghasilkan perpecahan-perpecahan besar di antara bangsa-bangsa. Dosa menyebabkan prasangka rasial dan antagonisme, dan membentuk blok-blok kekuasaan internasional yang besar. Dosa menciptakan perpecahan sosial dan dengan begitu membawa kepada konflik antar kelompok atau kelas. Dosa memisahkan orang-orang kaya dengan orang-orang miskin dan menyebabkan konflik dalam semua kelompok manusia, baik kelompok pendidikan, masyarakat, sosial, waktu senggang maupun agama. Lagi pula, dosa membawa perpecahan dalam keluarga dan gereja. Secara paradoks, ancaman dari sesama membuat manusia mencari keamanan dengan membentuk berbagai persekutuan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Dosa juga menyebabkan eksploitasi sehingga kita "memakai" sesama kita. Kita mengeksploitasi dia untuk menjaga harga diri, untuk membenarkan rencana-rencana jahat dan untuk menopang kelemahan-kelemahan diri kita. Kita membuat dia menjadi korban dari frustasi dan perasaan bersalah kita. Eksploitasi ini bahkan dinyatakan sebagai kekerasan fisik atau psikologis, seperti dalam hubungan pria/wanita yang sepanjang sejarah bercirikan dominasi pria, penggunaan wanita untuk kepentingan egois pria dan penolakan memberinya persamaan hak dan martabat yang hakiki. Bahkan dalam mengasihi sesama kita mencoba mendapat manfaat dari tanggapan terhadap kasih itu: pemberian kita tidak lain dari penerimaan belaka.

Putusnya hubungan dengan sesama sering dinyatakan sebagai ketakutan bahwa orang lain akan menjadi sadar akan pribadi kita sebenarnya dengan segala kelemahan, rasa bersalah dan rasa jijiknya. Oleh sebab itu, kita mencoba bersembunyi dari dia, di satu pihak dengan memproyeksikan gambaran palsu dari diri kita, dan di pihak lain dengan usaha memadamkan ancaman dari dia dengan mengotak-ngotakkannya, melihatnya sebagai anggota suatu kelompok: "kasus", "mahasiswa", "guru", "direktur", "pekerja". Salah satu hasil paling getir dari pemisahan diri dari sesama adalah pengalaman yang berulang kali terjadi ialah salah paham bahkan juga walaupun ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengenal dan dikenal orang.

3. Dalam Hubungan dengan Dirinya

Dosa mengadu dombakan manusia melawan dirinya; ia hidup dengan konflik batin dan perpecahan sambil berseru, "Aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku?" (Roma 7:23). Orang kehilangan arah batin dan menjadi tidak jelas bagi dirinya sendiri, sejuta dorongan yang saling bertentangan. Pengaruh dosa dinyatakan dalam penipuan diri sendiri. Kehilangan pengetahuan diri yang sebenarnya akan mengakibatkan semacam pemujaan diri atau penghakiman diri yang neurotik berdasarkan patokan yang tidak realistis. Orang tidak mampu menilai diri dengan tepat, tetapi juga tidak sanggup untuk menyerahkan segala hal kepada Allah dan membiarkan Dia menjadi hakim (1 Kor. 4:3). Konflik batin ini juga terungkap sebagai rasa malu, perasaan tidak enak dengan diri sendiri (bandingkan Kej. 3:7-8). Dosa telah menyita kepercayaan diri dan kesanggupan melihat diri sebagai makhluk Allah; orang malu akan dirinya. Segala ungkapan konflik batin manusia ini mengakibatkan keresahan yang tidak terobati dalam dirinya. "Orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tenang,....' Tiada damai bagi orang-orang fasik itu' firman Allahku" (Yes. 57:20-21).

4. Dalam Hubungan dengan Alam Semesta

Umat manusia kehilangan keharmonisan dengan alam. Penatalayanan lingkungan sesuai dengan kehendak Allah tergeser oleh perampasan oleh manusia yang berdosa. Ini diwujudkan sebagai eksploitasi dan perusakan dunia, tanpa memikirkan keindahannya yang tercipta ataupun nilai hakikinya. Ini juga terungkap sebagai polusi, penggunaan bahan baku yang mengotorkan samudera dan suasana secara serakah, hanya untuk kepentingan diri dengan keuntungan ekonomi belaka, kehidupan mewah dan pemuasan hati.

5. Dalam Hubungan dengan Waktu

Manusia yang jatuh ke dalam dosa hidup dalam waktu yang dibatasi karena dosa itu. Karena dosa, manusia kehilangan kekekalan (Kej. 2:17; 3:19), hari-harinya terbatas. Penghakiman melalui kematian adalah pertanda penghakiman Allah nanti. Oleh Allah, manusia diberi waktu, tetapi waktu itu berjalan terus mendekati akhirnya ketika semua rencana, tujuan dan mimpi akhirnya dihentikan oleh kematian. Pengaruh dosa ini terungkap dalam materialisme manusia serta hedonisme praktis yang sebenarnya hanyalah penerapan materialisme. Kita berpegang pada dunia yang nyata bagi panca indra sebagai usaha untuk mempunyai pegangan dalam dunia yang terus bergolak. Usaha ini juga nyata dalam keinginan untuk menciptakan tanda-tanda peringatan, bentuk-bentuk materi yang dapat memperpanjang kenangan kepada orang setelah ia tiada. Pembatasan waktu ini juga mengakibatkan kegelisahan. Kematian tidak ada bandingnya untuk menyadarkan orang akan keadaannya yang tidak berarti dan kelemahannya, dan menunjukkan kebodohan orang yang berlagak mulia. Bahkan, walaupun seorang mencoba menghadapi kematian dengan hati teduh, ia tidak berhasil sepenuhnya mengatasi kegelisahan ini. Takut akan kematian menguasai manusia sampai akhirnya ia juga pergi menerima hasil dosanya.

c. Soal-Soal Lain

1. Dosa yang Tak Terampuni

Beberapa perikop Perjanjian Baru berbicara tentang dosa yang tidak dapat diampuni, yakni dosa atau penghujatan terhadap Roh Kudus. Yesus menyinggung hal ini (Mat. 12:31-32; bandingkan Ibr. 6:4-6; 10:26-29; 1 Yoh. 5:16). Ada yang menganggapnya sebagai perbuatan langsung untuk menghujat Roh Kudus, biasanya dalam hubungan dengan kesaksian-Nya mengenai Kristus. Penafsiran akhir-akhir ini melihat hakikat dosa itu lebih bersifat kristologis. Yesus membedakan antara dosa terhadap Roh Kudus dan dosa "menentang Anak Manusia" (Mat. 12:32) sebelum kematian dan kebangkitan-Nya dan turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Sebelum Paskah pertama "Anak Manusia" merupakan penyataan Allah yang terselubung dan penuh teka-teki. Kegagalan mengenal Yesus selama misi-Nya di dunia (misalnya keluarga-Nya sendiri, Mrk. 3:21) tidak begitu serius dibandingkan dengan sikap percaya bahwa seluruh misi-Nya, khususnya karya-karya baik-Nya, adalah pekerjaan Iblis seperti yang dituduhkan orang Farisi kepada-Nya. Dengan adanya peristiwa Pentakosta, perbedaan itu hilang. Yesus diperlihatkan sebagai Anak Allah dan Injil salib diberitakan dengan kuasa Roh Kudus. Penolakan terhadap pesan ini serta terhadap Kristus yang diabadikan oleh pesan ini, berarti menolak Roh Kudus yang menyaksikan akan kebenaran-Nya (Ibr. 10:29). Dosa ini tidak diampuni jika dilanjutkan, karena olehnya orang menolak harapan satu-satunya akan penebusan. Yohanes menyebutnya "dosa yang mendatangkan maut" (1 Yoh. 5:16).

2. Kebebasan Manusia

Masalah arti dan batas kebebasan manusia sejak kejatuhan telah diperdebatkan dengan gigih berabad-abad. Sering perdebatan ini lebih banyak menghangatkan situasi daripada memberi kejelasan. Ini cukup sering disebabkan oleh kecenderungan mengacau permasalahan teologis dengan masalah yang jelas-jelas bersifat filsafat, yakni determinisme dan indeterminisme. Ada paling sedikit tiga arti istilah "kebebasan". Pertama, orang mengalami kebebasan secara psikologis sehari-hari ketika dia menghadapi beberapa alternatif dan membuat pilihan. Ini meliputi hal-hal sepele, seperti "Koran mana yang akan saya beli pagi ini?" sampai pada yang serius seperti "Maukah engkau menikah dengan saya?" Inilah kebebasan yang mendasari tanggung jawab moral. Alkitab menganggap bahwa kuasa untuk memilih secara bertanggungjawab dan atas kemauan sendiri adalah milik semua orang, baik orang Kristen maupun yang bukan Kristen. Tingkat pengertian yang kedua timbul dari pertanyaan apakah perbuatan-perbuatan kita pada masa mendatang akan ditentukan oleh faktor-faktor pada masa kini dan oleh sebab itu dapat diramalkan. Agaknya Alkitab tidak membenarkan atau menolak kebebasan dalam arti ini. Yang pasti adalah bahwa watak dipengaruhi oleh perbuatan orang: keputusan dan perbuatan masa lampau membentuk tipe manusia yang ada sekarang. "Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya" (Gal. 6:7). Di lain pihak, Alkitab tidak membenarkan adanya pengurangan tanggung jawab manusia. Ketiga, segi teologis dari kebebasan muncul dengan persoalan apakah orang bukan Kristen bebas untuk menggenapi kehendak Allah, khususnya apakah mereka bebas untuk menyesali dosanya dan percaya kepada Kristus sebagai Penebus dan Tuhan. Perbudakan kemauan manusia karena kejatuhan kelihatannya tidak memungkinkan orang benar-benar secara bebas menaati Allah. Ketidaksanggupan untuk berpaling kepada Allah tanpa bantuan-Nya tercermin dalam kenyataan bahwa orang hanya dapat masuk ke dalam kerajaan surga melalui kelahiran kembali.

Diambil dari:
Judul Buku : Mengenali Kebenaran
Judul artikel : Manusia Berdosa
Penulis : Bruce Milne
Penerbit : BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2000
Halaman : 144 - 155
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA