Iman Dan Realita: Sebuah Renungan Filosofis

"... dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus ..." (Ef. 6:1-18).

Iman dan kenyataan sering dianggap sebagai dua hal yang berbeda. Iman dipahami sebatas "urusan surga", sedangkan realitas ada di "dunia yang lain". Sulit untuk mengharmoniskan kedua tema ini; bahkan seperti pepatah: "Gatal di kepala, menggaruk di kaki". Tidak ada hubungan sama sekali! Benarkah?

  1. Iman
    Iman memiliki tiga implikasi umum yang bermakna eksklusif, sebagaimana dikemukakan berikut ini.

    1. Memercayai.
      Memercayai mengandung beberapa tindakan yang diharapkan atau bertindak secara spesifik yang berpotensi memberikan pengaruh atau kemungkinan menyebabkan perubahan; baik terdeteksi, maupun tidak.

    2. Memercayai tanpa alasan.
      Memercayai menurut kata hati atau memercayai atas dasar pengharapan.

    3. Memercayai berdasarkan bukti-bukti.

    Dalam banyak kasus, iman didasarkan pada penafsiran yang tidak nyata (perasaan dan emosi) ketimbang kenyataan ilmiah. Dalam terminologi modern, "iman" sama dengan sistem agama; bukan misteri.

    Secara teologis, iman memiliki dua pengertian utama.

    1. Assensus (mengakui)
      Pengertian ini biasanya dikaitkan dengan pengakuan secara umum dan alamiah tentang Allah dan pemeliharaan-Nya. Biasanya konsisten dengan alasan-alasan yang rasional.

    2. Fiducia (memercayai)
      Pengertian ini sangat khusus, yaitu percaya kepada Bapa, Putra, dan Roh kudus -- "Allah Yang Immanen". Pengertian ini adalah puncak nasihat Kitab Suci dan pengalaman kehidupan rohani orang Kristen. Artinya apa yang dipercayai (seharusnya) berbanding lurus dengan sikap-sikap utama. Kepercayaan menentukan sikap!

    Cakupan iman adalah:

    1. intelek, yang merupakan kemampuan pengetahuan dan kecerdasan;

    2. hati, yang menjadi pusat emosi dan intuisi;

    3. kehendak, yang mengandung kesanggupan memilih dan kesadaran membuat keputusan yang tegas;

    4. perilaku, yaitu aksi dan reaksi dalam pengertian tindakan dan sikap.

  2. Realita
    Realita adalah keadaan sesuai kenyataan. Istilah ini bermakna luas, termasuk segala sesuatu yang ada, apakah dapat diselidiki atau sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuan, filsafat, atau sistem. Realita dalam pengertian ini bisa termasuk keberadaan atau kenihilan.

    Dalam perenungan ini, realita yang dimaksud adalah "keadaan atau situasi yang sedang terjadi". Semua orang yang hidup dalam sistem ini adalah objek utama dari pengertian ini. Mereka yang hidup (menganut) sistem ini adalah lawan nyata yang sedang dihadapi. Realita dominan yang berpengaruh hari ini adalah "kekuatan-kekuatan" ideologi (idea; ideology), cara pandang (worldview) tentang hidup, dan sikap (behaviour) yang bertentangan dengan sistem iman dan telah merasuk banyak orang.

    Orang percaya akan berhadapan dengan falsafah-falsafah, ideologi-ideologi, dan pola-pola tingkah laku yang cenderung merongrong kehidupan rohaninya. Realita yang dimaksud dapat dilihat, seperti (1) penekanan pada rasio dan rasionalisme yang tanpa batas, (2) individualisme, (3) oportunis atau prospektif, dan (4) relativisme nilai atau kebenaran. Secara efektif, semua gejala ini akan menjadi sebuah "kekuatan penguasa angkasa" yang hampir tidak dapat dideteksi pengaruhnya. Realitas ini akan menguji keutuhan iman yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita.

  3. Apa Hubungan Iman dan Realita?
    Menurut kitab suci, iman adalah "perisai", "senjata Allah", "kekuatan", "kuasa", dan sebagainya yang bersumber dari Allah dan dikhususkan bagi orang percaya. Penekanan iman terletak pada kapasitasnya yang bisa menjadi media perantara "Allah dan manusia", kekuatan yang "mengalahkan dunia", "penguasa-penguasanya", dan "sistem-sistem dunia ini". Kapasitas ini telah Allah percayakan kepada umat-Nya melalui iman. Dan melalui iman, ada dua tugas yang harus dikerjakan, yaitu (1) menghadapi realitas dan (2) mengefektifkan iman.

    1. Iman Harus Berhadapan dengan Realita
      Bukan tanpa alasan jika dikatakan bahwa iman itu mencakup entitas kecerdasan, perasaan, kehendak, dan tingkah laku. Cakupan ini mengindikasikan adanya suatu realitas yang akan dihadapi. Musuh iman yang dominan justru bersumber dari ketidakharmonisan entitas-entitas ini karena harus "bertarung" dari dua kutub, yakni "kutub ilahi" dan "kutub duniawi". Kutub ilahi dapat bermakna orang beriman, sedangkan kutub duniawi adalah manusia duniawi yang hidup dengan sudut pandang duniawi. Kehidupan duniawi ini sangat dominan memengaruhi pandangan dunia ini dan banyak "orang yang hidup di dalamnya".

      Iman harus berhadapan dengan realitas dunia yang memang "bukan surga"! Realitas dunia yang harus dihadapi dan dilawan mencakup empat butir yang dijelaskan di bawah ini.

      1. Rasionalitas
        Realitas ini identik dengan kecerdasan dan logika. Segala sesuatu harus direspons dengan intelektual dan logika. Iman kita sebenarnya bersifat misteri, tidak rasional dan sangat pribadi. Tetapi sesuatu yang misteri ini diperhadapkan dengan logika. Meskipun iman merupakan pengalaman pribadi, Allah memperlengkapi orang percaya dengan iman intelek. Kitab Suci mengusulkan Daniel dan teman-temannya sebagai contoh. Contoh lainnya bisa dilihat pada Tomas. Oleh sebab itu, Pengamsal memberikan peringatan: "Takut akan Tuhan itu permulaan pengetahuan" (Ams. 1:7). Jadi, realitas rasionalitas harus dilawan dengan iman dalam entitas intelek. Karena Allah juga bekerja dalam logika.
      2. Individualitas
        Ini menyangkut "suatu relasi atau hubungan individu". Realitas mementingkan diri sendiri membuat manusia tidak mampu mengenal dan peduli dengan pihak lain. Dalam kondisi ini, "AKU" adalah pusat dan menjadi segala-galanya. Keegoisan membuat manusia tidak mau mengakui kedaulatan Allah. Semboyan dalam lagu "All by Myself", "semua oleh karena diriku sendiri" atau "kalau bukan kamu sendiri, siapa lagi?", sering membuat orang percaya tersadar dan "meragukan" kembali keyakinannya, "Apakah karena Tuhan atau karena aku dan kapasitasku sendiri?" Paulus memperingatkan bahwa orang yang hidup dalam realitas ini adalah orang berdosa (Rm. 3:9-20)! Jadi, kenyataan ini harus dilawan dengan iman dalam entitas emosi. Hati yang telah diubahkan akan efektif mengubah emosi yang berdosa. Gunakan hati Tuhan -- mengasihi, berbicara, dan mendengar orang berdosa seperti Tuhan memperlakukan mereka. Di sinilah alasan mengapa Kitab Suci sering memberikan penekanan tentang perlunya "hati yang diperbaharui"; menjadi seperti hati Allah sendiri. Keegoisan harus dihadapi dengan hati yang tulus untuk mengubahnya.

      3. Prospektif Oportunis
        Tindakan prospektif oportunis ialah tindakan yang didasarkan pada kemungkinan dan presumsi. Pada area ini, istilah "percaya" dan "tidak percaya" atau "suka" atau "tidak suka" sangat dominan. Intinya mengharapkan yang terbaik dan menguntungkan. Tidak jauh berbeda dengan istilah oportunistis, yakni bertindak untuk suatu keuntungan walau dalam kondisi tidak etis dan tidak bermoral. Istilah alkitabiahnya: "hidup secara duniawi", "mengejar keuntungan", "cinta uang", "mengejar kedudukan", dan sebagainya. Kenyataan ini harus dilawan dengan iman dalam entitas kehendak Allah. Kehendak Allah, salah satunya: "mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya". Prioritas pada kehendak Tuhan adalah tanggung jawab orang beriman.

      4. Relativitas
        Realitas yang menekankan bahwa "kebenaran dan nilai moral itu tidak mutlak dan semua bergantung kepada pribadi atau kelompok yang berkepentingan" adalah realitas yang mengondisikan nilai dan kebenaran. Relativitas ini sangat terikat dengan berbagai kecenderungan rasionalitas, individualitas, dan oportunitas. Apa yang tidak realistis dan tidak menguntungkan adalah sesuatu yang patut diabaikan. Dalam pengertian ini, Kitab Suci memberi rambu-rambu yang jelas dan bijak, agar orang beriman mempertimbangkan bahwa: "Segala sesuatu diperbolehkan, benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan, benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun (1Kor. 10:23). Iman harus etis. "Sebab mata kita harus tertuju pada kasih setia-Tuhan, dan hidup dalam kebenaran."

    2. Iman Harus Efektif
      Berdasarkan saran Paulus kepada Timotius, dibutuhkan integritas bagi seseorang untuk memelihara iman. Integrits dalam pengertian ini adalah konsistensi dalam prinsip. Prinsip yang dipegang akan menjadi dasar untuk bertindak. Implementasinya harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang konsisten. Integritas merujuk kepada tanggung jawab seseorang dalam mengimplementasikan prinsip yang dipegangnya. Jika tindakannya gagal, akan memberikan efek atau perubahan pada prinsip yang dimaksud. Efek ini bisa gagal atau sebaliknya. Dalam pengertian ini, iman harus menjadi dasar untuk bertindak, merespons, dan mengantisipasi realitas. Paulus telah memelihara iman. Tetapi Kitab Suci tidak selesai pada nasihat untuk "memelihara" iman saja. Yakobus menyarankan agar iman itu efektif. Iman harus disertai dengan tindakan!

      Strategi agar iman kita efektif dalam menghadapi empat realitas di dalam sistem dunia ini adalah sebagai berikut.

      1. Orang percaya harus cerdas. Iman yang bertumbuh akan memberikan kecerdasan intelektual.

      2. Orang percaya harus sensitif; memiliki kepekaan rohani. Peka untuk membedakan mana suara Tuhan, mana suara Iblis, dan mana suara hati nurani.

      3. Umat Tuhan harus percaya dan taat (trust and obey). "Dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya," tetapi "orang yang taat akan hidup oleh percayanya." Pemazmur berkata, "Pada TUHAN aku percaya dengan tidak ragu-ragu" (Maz. 26:1).

      4. Orang percaya harus etis. Etis berarti merujuk kepada cara hidup yang benar dan dikehendaki oleh Allah dan sistem manusia. Bisa saja tatanan ini mengacu kepada peraturan manusiawi yang menuntut kepada ketaatan dan kesopanan; menekankan sopan santun. Intinya, "anak-anak Allah haruslah hidup dalam kekudusan dan kebenaran!"
        Tanpa keempat strategi ini, iman kita adalah iman yang mati! Realitas hari ini menuntut efektivitas iman kita.

        Sola Gratia

Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA