Buah Iman yang Menjadi Berita

(Sebuah Renungan Berdasarkan Matius 9:18-26)

I. Pendahuluan

Apakah pernyataan iman itu berbeda-beda? Ya, tentu saja! Itulah yang dikisahkan Matius dalam pasal 9 ayat 18-26. Dibandingkan dengan tulisan Markus dan Lukas mengenai peristiwa ini, tulisan Matius adalah yang terpendek. Agaknya Matius sengaja meniadakan keterangan-keterangan yang dianggapnya kurang penting agar kekontrasan dari iman dua tokoh dalam kisah ini bisa menonjol. Kedua, tokoh itu adalah kepala rumah ibadat dan perempuan yang sakit pendarahan. Jika pernyataan iman itu berbeda-beda, apakah hasil dari iman itu akan berbeda-beda pula? Sekali-kali tidak! Itulah yang dibuktikan oleh Yesus dalam Matius 9:1-26 terhadap iman kepala rumah ibadat dan iman perempuan yang sakit pendarahan. Akan tetapi, apakah Yesus sendiri adalah orang beriman? Janganlah terburu-buru menjawab pertanyaan ini, jika Anda tidak dapat membuktikannya. Matius telah membuktikannya. Lalu, jika Yesus memang orang beriman, apakah hasil dari iman Yesus? Apakah sama dengan hasil iman kepala rumah ibadat dan iman perempuan yang sakit pendarahan? Matius tidak menyatakannya secara tersurat. Ia hanya mengakhiri kisahnya dengan kalimat: Maka tersiarlah kabar tentang hal itu ke seluruh daerah itu (ayat 26).

II. Kepala Rumah Ibadat dan Perempuan yang Sakit Pendarahan

Perbedaan antara kedua tokoh ini terlihat dari segi identitasnya, penyantunannya, imannya, dan reaksi Yesus terhadap mereka masing-masing. Namun, di antara perbedaan-perbedaan ini, ada satu persamaannya, yaitu hasil dari iman mereka.

Perbedaan Identitas

Perbedaan yang paling nyata adalah bahwa yang satu adalah seorang laki-laki dan yang seorang lagi perempuan. Perbedaan jenis kelamin ini saja sudah menunjukkan suatu perbedaan status, karena pada zaman itu ada kecenderungan untuk memandang laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan. Misalnya saja, dalam pencatatan jumlah orang, biasanya hanya jumlah laki-laki saja yang disebut. Dalam peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang, seperti dalam Matius 14:21 berbunyi: Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak. Perbedaan identitas ini menegaskan lagi oleh perbedaan status sosial. Tokoh yang pertama bukan saja seorang laki-laki, tetapi juga seorang yang menjabat sebagai kepala. Ia tentu adalah orang terpandang dalam masyarakatnya dan sekaligus terpelajar. Sedangkan perempuan itu, apa kedudukannya? Tidak disebut. Penulis mengasumsikan bahwa perempuan ini bukan orang terpandang. Alasan pertama, seandainya perempuan ini punya status sosial yang tinggi, maka sebagai penulis, Matius tentu akan menyebutkannya, karena tokoh yang satu sudah dia beritahukan status sosialnya. Alasan kedua: sakit pendarahan bukanlah suatu penyakit yang bisa diakui tanpa rasa malu. Secara sederhana, kita dapat membayangkan apabila seseorang menderita sakit pilek, misalnya, ia tidak perlu merasa malu untuk mengakui penyakitnya itu. Bila dilihat orang pun, ia tidak perlu malu. Tidak demikian halnya dengan penderita sakit pendarahan. Jika kita mengaitkan penyakit ini dengan konteks Yahudi. Situasinya akan menjadi lebih berat lagi. Hukumnya tertulis dalam Imamat 15:25-27. Apabila seorang perempuan berhari-hari lamanya mengeluarkan lelehan, yakni darah yang bukan pada waktu cemar kainnya, ... maka selama lelehannya yang najis itu ... ia najis. Setiap tempat tidur yang ditidurinya... dan setiap barang yang didudukinya menjadi najis .... Setiap orang yang kena kepada barang-barang itu menjadi najis ....

Perempuan ini telah menderita dua belas tahun lamanya dan selama itu pula ia dianggap najis! Orang-orang di sekitarnya pun harus berhati-hati terhadap dia. Jika ia sudah bersuami, besar kemungkinan suaminya terpaksa meninggalkannya, karena jika suaminya tetap tidur bersama dengan dia, suaminya juga akan menjadi najis. Jika ia belum menikah, laki-laki mana yang sudi menikah dengan perempuan seperti ini? Perempuan ini bukan saja menderita secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah. Jiwanya tentu sakit dan kesepian. Mungkin juga, orang-orang segera menyingkir dengan perasaan jijik setiap kali melihat perempuan ini. Maka, seandainya perempuan ini punya pesuruh, dia akan lebih baik tinggal di rumah dan menyuruh suruhan menemui Yesus. Berhubung ia orang biasa saja, ia harus bersusah payah menahan malu dan pergi mencari Yesus.

Perbedaan Pendekatan

  1. Kepala Rumah Ibadat

    ... datanglah seorang kepala rumah ibadat, lalu menyembah Dia dan berkata: .... (ayat 18) Cara pendekatan ini pun menunjukkan bahwa ia memang adalah seorang terpelajar. Ia tahu cara yang sopan untuk menghadap orang yang dihormati.

  2. Perempuan yang Sakit Pendarahan

    Pada waktu itu, seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan, maju mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya. (ayat 20) Jangankan untuk sujud menyembah, untuk bicara pun perempuan ini tak berani. Ia hanya mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya -- jumbai jubah-Nya. Sesuai gambaran di atas, dapatlah kita bayangkan bagaimana rasa malu yang berkecamuk dalam dada perempuan ini karena penyakitnya. Lalu kini, ia bukan saja harus berhadapan dengan Yesus, tetapi juga dengan murid-murid-Nya. Murid-murid Yesus itu mungkin kadang-kadang sok tahu dan kasar juga sikap mereka. Anda masih ingat, bagaimana sikap kasar mereka ketika mereka memarahi orang-orang yang membawa anak-anaknya untuk diberkati oleh Yesus (Matius 19:13). Perempuan ini tentu bisa membaca sikap murid-murid Yesus, atau mungkin juga ia pernah mendengar komentar-komentar orang tentang mereka yang notabene laki-laki semua. Perasaan mindernya semakin menjadi-jadi. Sebagaimana biasanya orang minder, karena minder, malah jadi salah tingkah. Demikianlah yang dialami perempuan ini. Ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya. Ini sama sekali bukan cara yang sopan.

Perbedaan Pernyataan Iman

  1. Kepala Rumah Ibadat

    "Anakku perempuan baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup." (ayat 18) Anak perempuannya baru saja meninggal. Itu fakta. Tetapi, ia percaya bahwa apabila Yesus datang dan meletakkan tangan-Nya atas anaknya, maka anaknya akan hidup. Sungguh, iman yang luar biasa! Iman kepala rumah ibadat itu tidak perlu diragukan lagi.

  2. Perempuan yang Sakit Pendarahan

    Karena katanya dalam hatinya: "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." (ayat 21) Ternyata bukan saja ia tidak berani menyembah. berkata-kata pun ia tak berani. Tetapi, apa yang dikatakan dalam hatinya itu sungguh luar biasa. "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." Ia sungguh beriman sekalipun ia tak berani mengatakannya secara terang-terangan seperti kepala rumah ibadat itu.

Perbedaan Reaksi Yesus

  1. Terhadap Kepala Rumah Ibadat

    Lalu Yesus pun bangunlah dan mengikuti orang itu bersama-sama dengan murid-murid-Nya.(ayat 19) Kepada kepala rumah ibadat ini Yesus tidak mengatakan apa-apa, dan juga, terhadapnya Yesus tidak menguji imannya. Yesus segera bertindak. Ia bangkit dan mengikuti kepala rumah ibadat ini.

  2. Terhadap Perempuan yang Sakit Pendarahan

    Tetapi Yesus berpaling dan memandang dia serta berkata: "Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau." (ayat 22) Perempuan ini telah menghampiri Yesus dengan cara yang kurang sopan. Ia datang mengendap-endap dari belakang. Tetapi, Yesus sudi berpaling dan memandang perempuan ini. Yesus mengerti bagaimana gundah gulananya hati perempuan ini, sehingga Ia mengatakan, "Teguhkanlah hatimu, ...." Lebih dari itu, ketika semua orang menutup mukanya terhadap perempuan ini dengan perasaan jijik, Yesus sudi memandang perempuan ini. Betapa lembutnya hati Yesus!

Persamaan Hasil dari Iman

  1. Kepala Rumah Ibadat

    Yesus masuk dan memegang tangan anak itu. lalu bangkitlah anak itu (ayat 25). Yesus melakukan tepat seperti apa yang diimani oleh kepala rumah ibadat ini, yaitu datang dan meletakkan tangan-Nya atas anak dari kepala rumah ibadat ini (memegang tangannya). Hasilnya pun tepat seperti apa yang telah diimani.

  2. Perempuan yang Sakit Pendarahan

    Maka sejak saat itu sembuhlah perempuan itu. (ayat 22b) Kata "sejak saat itu" di sini menunjukkan bahwa penyakit perempuan ini tidak pernah kambuh lagi. Dua belas tahun lamanya ia menderita dan dipandang najis. Tetapi, sejak saat itu ia menjadi sembuh dan tahir. Haleluya!

Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan kekontrasan kedua tokoh tersebut.

Bagan 1

Perbedaan dan Persamaan antara Kepala Rumah Ibadat dan Perempuan yang Sakit Pendarahan

Kepala Rumah Ibadat

  • Identitas
    • Jenis kelamin: Laki-laki
    • Status sosial: Kepala Rumah Ibadat
  • Cara Pendekatan
    • Menyembah
  • Pernyataan Iman
    • Melalui perkataan yang tegas
  • Reaksi Yesus
    • Segera bangun dan mengikutinya
  • Hasilnya
    • Anaknya bangkit

Perempuan Sakit

  • Identitas
    • Jenis kelamin: Perempuan
    • Status sosial: Orang najis
  • Cara Pendekatan
    • Menjamah jumbai jubah Yesus dari belakang.
  • Pernyataan Iman
    • Hanya dalam hati
  • Reaksi Yesus
    • Berpaling dan memandang dia
  • Hasilnya
    • Sembuh

III. Reaksi Yesus terhadap Penolakan sebagai Bukti Iman

Sebagaimana di sepanjang sejarah selalu saja ada pro dan kontra, demikian pula Matius tidak luput mengisahkan mereka yang meremehkan Yesus justru pada saat ada dua orang yang begitu mengagumi Yesus. Namun, sebelumnya, marilah kita menyelami dahulu bagaimana suasana di rumah kepala rumah ibadat itu ketika Yesus datang. Beginilah tutur Matius pada ayat 24: Ketika Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu dan melihat peniup-peniup seruling dan orang banyak ribut, .... Mereka yang punya budaya serupa pada saat ada yang meninggal dapat membayangkan betapa riuh rendahnya suasana rumah kepala rumah ibadat itu. Para peniup seruling itu adalah para peratap yang dalam budaya Tiongkok disebut "caima". Mungkin ada pula orang-orang yang khusus disewa untuk meratap pada saat itu.

Tamu-tamu yang datang turut meratap sebagai tanda simpati terhadap keluarga kepala rumah ibadat itu. Tidak ketinggalan pula para bawahan kepala rumah ibadat itu menyatakan berbelasungkawa. Istri kepala rumah ibadat itu sendiri mungkin sedang menangis meraung-raung dan kaum ibu memeluknya berganti-ganti sambil meratap dan menghibur. Orang-orang yang tidak mudah menangis akan memasuki ruangan itu paling tidak dengan wajah tertunduk, lalu duduk bersama merasakan kesedihan yang meliputi keluarga itu. Nah, di tengah-tengah riuh rendahnya bunyi seruling dan ratap tangis inilah tiba-tiba datanglah Yesus tanpa wajah pucat, apalagi setetes air mata, melainkan dengan kata-kata: "Pergilah, karena anak ini tidak mati, tetapi tidur." Oh, tentu, tentu mereka menertawakan Yesus! (ayat 24). Mereka menertawakan Yesus, karena mereka tidak tahu siapa Yesus. Mereka tidak tahu bahwa Yesus memiliki kuasa baik atas hidup maupun atas maut. Bahkan, Ia memiliki kuasa atas setiap tarikan dan hembuskan napas yang dihasilkan untuk mewujudkan suara tawa itu!

Para pembaca yang budiman, andaikan kita ada dalam posisi Yesus pada saat itu, apakah yang akan kita perbuat? Dapatlah kita bayangkan bagaimana rasanya setelah seorang yang berkedudukan sebagai kepala rumah ibadat begitu percaya kepada kita dan juga setelah seorang perempuan begitu yakin akan kehebatan kita, kita lalu ditertawakan. Akankah kita memaki-maki mereka, "Hei, tidak tahukah kalian siapa aku ini? Kepala rumah ibadat saja begitu percaya padaku. Berani-beraninya kalian menertawakan aku. Belum tahu yah, apa yang bisa kuperbuat?" Lain halnya dengan Yesus, Ia tidak kehilangan wibawa-Nya. Ia mengusir mereka, tetapi tidak buang-buang waktu untuk berkhotbah kepada mereka, orang-orang yang tidak percaya itu. Ejekan orang banyak tidak mampu menggeser fokus dari satu orang yang membutuhkan pelayanan-Nya. Tujuan-Nya pasti. Ia masuk dan memegang tangan anak itu, dan bangkitlah anak itu. Betapa agungnya Dia! Yesus tidak mungkin bersikap seperti ini jika Ia tidak memiliki iman kepada Bapa-Nya yang mengutus Dia. Ia tidak menjadi bimbang ketika orang banyak menertawakan Dia, karena Ia percaya bahwa inilah pekerjaan yang dikehendaki oleh Bapa-Nya.

IV. Penutup

Maka tersiarlah kabar tentang hal itu ke seluruh daerah itu (ayat 26). Inilah akhir dari penuturan Matius. Saat itu belum ada radio, televisi, atau pun surat kabar. Namun, orang-orang tidak jemu-jemu menyampaikan berita itu dari mulut ke mulut hingga seluruh daerah itu mengetahuinya karena memang sungguh banyak hal baru yang telah dibukakan melalui peristiwa itu. Pertama, di mata Yesus ternyata tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal memperoleh belas kasihan-Nya. Yesus pun tidak memandang kedudukan atau status sosial. Identitas pribadi bukan masalah bagi-Nya. Oleh karena itu, siapapun kita, janganlah ragu untuk datang kepada Yesus. Kedua, Yesus tidak mempermasalahkan cara atau tata krama dalam menghadap Dia. Yang Yesus perhatikan adalah hati. Adakah Ia mendapati iman dalam hati kita? Ketiga, Yesus tidak akan berlambat-lambat menanggapi iman kita sekalipun iman kita hanya sebesar biji sesawi.

Bagian akhir dari kisah ini merupakan hal yang sangat perlu penghayatan kita, para hamba Tuhan, yaitu tentang iman dan keagungan Yesus. Sekalipun kita diberi kepercayaan untuk suatu pelayanan yang besar, keakuan kita tidak jadi melambung. Kita tidak jadi lupa kepada mereka yang meskipun termasuk kaum minoritas tetapi sungguh-sungguh mengharapkan pelayanan kita. Fokus pelayanan kita bukan pada orang banyak -- entah mereka menyanjung atau mengejek -- tetapi pada Sang Guru Agung itu sendiri karena Dialah yang mengutus kita dan kepada-Nyalah kita mengarahkan iman kita. Ingatlah, bahwa Sang Guru Agung telah berpesan: "Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang. Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu." (Yohanes 9:4a; 20:21) Akhir kata, demikianlah kiranya terjadi di akhir pelayanan kita:

"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, Suara mereka tidak terdengar, tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi." (Mazmur 19:1-5)

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul Jurnal : PELITA ZAMAN, Volume 12, Nomor 2 (November 1997)
Penulis : Shunny Vashti Karuniadi
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, Bandung 1997
Halaman : 32 - 40
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA