Nama Kursus : KEHIDUPAN RASUL PAULUS
Nama Pelajaran : Latar Belakang dan Pertobatan Rasul Paulus
Kode Pelajaran : KRP-R01b
Referensi KRP-01b diambil dari:
Judul Buku : MEMAHAMI PERJANJIAN BARU
Pengarang : John Drane
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996
Halaman : 289 - 296
REFERENSI 01b - LATAR BELAKANG DAN PERTOBATAN RASUL PAULUS
SIAPA PAULUS ITU?
Dalam sejarah Perjanjian Baru sesudah kebangkitan Yesus, perhatian
beralih dari Petrus dan para murid Yesus lainnya kepada seorang tokoh
penting lain dalam kehidupan jemaat mula-mula - yakni Paulus, sang
Farisi. Paulus bukan satu-satunya orang Farisi yang menjadi Kristen
(Kisah Para Rasul 15:5), tetapi ia memang yang paling terkenal.
Berbeda dengan banyak orang Kristen Yahudi lainnya, Paulus tidak lahir
di Palestina. Sama seperti banyak orang yang bertobat pada hari
Pentakosta, ia seorang Yahudi Helenis. Ia berasal dari kota Tarsus di
provinsi Silisia, dan dia juga seorang warga negara Roma (Kisah Para
Rasul 22:3,27).
Masa muda Paulus
Mungkin sekali ada dua masa yang berbeda dalam kehidupan Paulus
sewaktu muda: masa kanak-kanak yang dihabiskannya di Tarsus, dan masa
muda serta awal kedewasaan di Yerusalem. Kata "dibesarkan" dalam Kisah
Para Rasul 22:3 dapat berarti ketika masih bayi Paulus pindah dari
Tarsus ke Yerusalem. Tetapi kebanyakan ahli berpendapat hal itu hanya
mengacu pada pendidikannya. Paulus pulang ke Tarsus setelah
pertobatannya (Kisah Para Rasul 9:30), jadi kelihatannya kota ini yang
dianggapnya sebagai kampung halaman.
- Tarsus
Walaupun Paulus pertama-tama dan terutama adalah seorang Yahudi, ia
juga bangga terhadap Tarsus, yang merupakan kota pendidikan tinggi
serta juga pusat pemerintahan dan perdagangan. Tetapi ia tidak merasa
senang dengan kebudayaan di kota itu yang bersifat Yunani dan kafir.
Orangtua Paulus merupakan orang-orang Yahudi dan sekaligus menjadi
warga negara Roma. Walaupun mereka berusaha melindungi Paulus dari
pengaruh kafir sewaktu remaja, tetapi keadaan kota Tarsus membuat
setiap anak yang cerdas terpengaruh oleh bahasa dan ide-ide kebudayaan
Yunani yang kafir. Pengaruh itu tampak dalam tiga rujukan sastra
Yunani oleh Paulus, yakni kepada penyair-penyair Epimenides (Kisah
Para Rasul 17:28), Aratus (Titus 1:12) dan Menander (1Korintus 15:33).
Sewaktu masih sangat muda, orangtua Paulus memutuskan ia harus menjadi
seorang rabi (guru hukum Taurat). Sebagai seorang anak kecil di
Tarsus, ia belajar tentang tradisi-tradisi umat Yahudi melalui
pendidikan yang teratur di sinagoge setempat. Alkitabnya yang pertama
kemungkinan besar adalah Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama ke
dalam bahasa Yunani.
Sewaktu tinggal di Tarsus, Paulus juga belajar membuat tenda, sebab
setiap murid hukum Taurat dianjurkan mempelajari suatu ketrampilan
di samping menuntut ilmu. Hal ini sangat bermanfaat bagi Paulus pada
kemudian hari, sebab dengan demikian dia sanggup memperoleh nafkah
sendiri sewaktu melakukan pekerjaan misionernya.
- Yerusalem
Tidak lama kemudian, Paulus dikirim dari Tarsus ke pusat dunia Yahudi,
yakni Yerusalem. Di Yerusalem ia menjadi murid Rabi Gamaliel, yang
merupakan cucu dan pengganti Rabi Hillel yang kesohor (kira-kira tahun
60 sM-20 M). Hillel telah mengajarkan suatu bentuk agama Yahudi yang
lebih maju dan liberal, daripada saingannya, Syammai. Apa yang
dikatakan Yesus tentang perceraian mungkin telah dicetuskan oleh
pengikut-pengikut kedua rabi tersebut (Markus 10:1-12). Hillel
menyatakan seorang lelaki dapat menceraikan istrinya kalau istrinya
itu tidak menyenangkan dalam hal apa pun juga - misalnya jika ia
memasak makanan sampai hangus! Tetapi Syammai berpendapat perceraian
hanya dibenarkan bila telah terjadi dosa moral yang berat. Apa yang
Paulus sendiri tulis mengenai pokok tersebut menunjukkan bahwa ia
mengubah pendiriannya setelah menjadi Kristen.
Namun Paulus memperoleh sedikitnya satu manfaat besar dari
pendidikannya menurut tradisi Hillel. Syammai berpendapat bahwa orang-
orang bukan-Yahudi tidak mempunyai tempat di dalam rencana Allah.
Sedangkan saingannya bukan saja menyambut mereka, tetapi secara
positif telah pergi menginjili mereka. Mungkin Paulus pertama kali
mendengar dari Gamaliel bahwa ada tugas besar yang perlu dikerjakan di
antara bangsa-bangsa bukan-Yahudi di kawasan kekaisaran Roma.
Paulus mencatat kemajuan yang baik dalam studinya di Yerusalem.
Menurut Paulus sendiri, ia seorang murid yang sangat berhasil (Galatia
1:14). Ia menjadi begitu penting, sehingga ketika orang-orang Kristen
diadili oleh karena iman mereka, ia diberi hak "memberi suara"
terhadap mereka, baik dalam jemaat sinagoge ataupun di dewan tertinggi
orang Yahudi, yakni Sanhedrin (Kisah Para Rasul 26:10).
Demikianlah keterangan yang kita ketahui mengenai latar belakang dan
pendidikan Paulus. Kita telah memberikan garis besar hidupnya
sebelum dia bertobat. Sekarang kita harus menggali dan melihat apa
yang dapat ditemukan tentang hidup masa mudanya, agar kita mengerti
kepribadiannya yang rumit serta mempunyai dasar yang jelas untuk
mengerti surat-suratnya.
Rupanya ada tiga pengaruh utama pada Paulus selama masa mudanya,
yakni agama Yahudi, filsafat Yunani dan agama-agama rahasia.
Paulus dan agama Yahudi
Paulus sendiri tidak pernah menyebut pengaruh-pengaruh Yunani atau
kafir, tetapi ia membuat banyak pernyataan tentang latar belakang
serta pendidikan Yahudinya. Ia bangga akan kenyataan ia seorang Farisi
yang baik. Kalau kita membaca surat-surat Paulus yang ditulisnya
sebagai seorang Kristen, menjadi jelas ia tetap mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan terbaik yang diterima dari guru-gurunya. Salah
satu saingan utama dari kaum Farisi adalah kaum Saduki. Kedua golongan
tersebut masing-masing mewakili sayap liberal dan konservatif dari
agama Yahudi. Pada setiap pokok pertikaian antara kedua golongan
tersebut, Paulus mengutip dan sering memperbaiki pendirian kaum
Farisi.
Kaum Farisi percaya sejarah mempunyai maksud dan tujuan. Mereka
berpendapat Allah mengatur peristiwa-peristiwa menurut rencana-Nya
sendiri, yang mencapai titik puncaknya dengan kedatangan sang Mesias
yang akan memimpin umat-Nya. Ini sesuatu yang dapat diterima dengan
baik oleh Paulus sebagai seorang Kristen. Dalam Roma 9-11 ia
mengemukakan Allah mengatur jalannya sejarah dengan tujuan agar pada
akhirnya orang-orang Yahudi diikutsertakan dalam persekutuan
Kristen. Paulus berpikir sebagai seorang Farisi yang baik --
walaupun dia melangkah lebih jauh, sebab ia tahu Mesias telah datang
dalam pribadi Yesus Kristus.
Kaum Farisi percaya akan hidup setelah kematian. Paulus menekankan
hal tersebut demi keuntungannya sendiri ketika dia diadili di
hadapan Sanhedrin (Kisah Para Rasul 23:6-10) dan Herodes Agripa II
(Kisah Para Rasul 26:6-8). Tetapi sebagai seorang Kristen, Paulus
melangkah lebih jauh lagi. Ia yakin bahwa tidak seorang pun dapat
menjamin adanya kebangkitan lepas dari kenyataan bahwa Yesus Kristus
telah bangkit dari kematian.
Kaum Farisi percaya akan malaikat-malaikat dan setan-setan. Kaum
Saduki tidak percaya akan hal-hal tersebut. Di sini juga Paulus
mempertahankan kepercayaannya sebagai seorang Farisi tetapi
mengubahnya dalam terang Kristus. Di salib, Kristus telah
menaklukkan kuasa-kuasa jahat. Oleh sebab itu, orang-orang Kristen
"lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah
mengasihi kita" (Roma 8:37). Tidak seorang malaikat pun dapat
menyaingi Tuhan yang telah bangkit, yang dilayani Paulus, dan yang
di dalam-Nya "seluruh kepenuhan Allah berkenan diam" (Kolose 1:19).
Bukan hanya dalam soal iman Paulus memperlihatkan pengaruh latar
belakang Yahudinya. Cara ia menulis, dengan memakai ayat-ayat
Perjanjian Lama untuk "membuktikan" pokok-pokok teologisnya,
langsung diambil dari pendidikannya selaku seorang Farisi. Pembaca
surat Paulus kepada jemaat di Galatia kadang-kadang merasa heran,
atau bahkan geli, bila melihat cara Paulus menafsirkan beberapa nats
Perjanjian Lama. Umpamanya, ia memakai metode tafsir yang biasa
dipakai para rabi Yahudi sewaktu ia menyatakan janji-janji kepada
Abraham ditujukan kepada satu orang, yakni Yesus Kristus, dengan
alasan kata Yunani yang diterjemahkan "keturunan" berbentuk tunggal
(Galatia 3:16). Seperti para rabi, Paulus kadang-kadang mengutip
sepotong nats tanpa memperhatikan konteksnya, dan menggabungkan
teks-teks yang diambil dari beberapa bagian Perjanjian Lama yang
sama sekali berbeda dan tidak berkaitan.
Namun dalam satu pokok penting Paulus tidak mengikuti warisan
Yahudinya. Kaum Farisi merupakan orang-orang legalistik. Mereka
mewajibkan pemeliharaan secara rinci bukan hanya hukum Perjanjian
Lama yang tertulis, tetapi juga hukum-hukum tradisional dan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak berdasarkan otoritas Alkitab. Lebih
daripada itu, mereka menyatakan bahwa orang-orang yang tidak
memelihara semuanya itu, tidak pernah dapat memperoleh keselamatan
penuh. Paulus telah mengalami keputusasaan secara total ketika ia
berusaha menjadi seorang Farisi yang baik dan memelihara Taurat.
Paulus tahu ia tidak pernah dapat melakukannya. Sebab itu ia tidak
pernah dapat benar-benar mengenal Allah. Sewaktu lagi merasa
optimis, ia pernah berkata, "tentang kebenaran dalam mentaati hukum
Taurat, aku tidak bercacat" (Filipi 3:6). Tetapi di dalam hatinya ia
mengetahui ada kuasa yang lebih besar daripada kuasanya sendiri yang
sedang bekerja dan mencegahnya untuk memelihara seluruh hukum
Taurat. Bahkan keberhasilan yang dicapainya pun jauh dari memadai:
"Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang
aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah
yang aku perbuat" (Roma 7:15). Semakin Paulus berusaha melakukan
yang baik, ia menemukan bahwa semakin tidak mungkin dia
melakukannya.
Hanya karena ia seorang Farisi yang begitu setia, ia dapat
menghargai apa yang telah dilakukan Allah bagi manusia di dalam
Yesus Kristus. Ajaran Farisi menjadi cermin di mana Paulus melihat
kekurangan-kekurangannya sendiri yang begitu jelas dinyatakan
sehingga ia nampaknya merupakan orang "yang paling berdosa"
(1Timotius 1:15). Tetapi di dalam Yesus Kristus ia melihat
pencerminan dari apa yang dapat dicapainya oleh anugerah Allah yang
diberikan secara cuma-cuma: "Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan
hukum Taurat ... telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus
Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang
dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di
dalam daging ... Jadi ... jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-
perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup ... Roh membantu kita dalam
kelemahan kita" (Roma 8:3,12,13,26).
Paulus dan Para Filsuf
Di antara banyak aliran filsafat yang ada pada waktu itu, aliran Stoik
mungkin yang paling serasi bagi Paulus. Satu atau dua filsuf Stoik
besar berasal dari Tarsus, dan mungkin Paulus masih ingat sedikit
tentang pengajaran mereka dari masa mudanya.
Beberapa ahli berpendapat pengetahuan Paulus tentang filsafat Stoik
lebih dalam daripada itu. Pada tahun 1910 Rudolf Bultmann menunjukkan
bahwa cara Paulus mengemukakan pendapatnya kadang-kadang menyerupai
argumen-argumen Stoik. Kedua-duanya memakai pertanyaan retoris,
pernyataan singkat yang berdiri sendiri, seorang lawan khayalan yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan banyak ilustrasi yang diambil
dari dunia atletik, pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Malahan
kita dapat menemukan frasa-frasa dalam pengajaran Paulus yang dapat
dianggap mendukung ajaran Stoik; umpamanya pernyataannya, "segala
sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari
segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia" (Kolose 1:16-17).
Dalam pidato Paulus di Atena, Lukas melaporkan bahwa Paulus benar-
benar mengutip Aratus, penyair Stoik yang terkenal (Kisah Para Rasul
17:28). Beberapa dari surat Paulus juga sering mencerminkan
peristilahan Stoik -- seperti waktu ia menggambarkan moralitas dengan
istilah "seharusnya" atau "sepatutnya" dan "tidak pantas". Tidak perlu
disangsikan lagi bahwa Paulus mengetahui dan bersimpati terhadap
banyak cita-cita Stoik. Tetapi ada beberapa perbedaan yang hakiki dan
penting antara kekristenan Paulus dan filsafat Stoik.
Filsafat Stoik didasarkan atas spekulasi-spekulasi filsafat mengenai
sifat dunia dan manusia. "Ilah"-nya yang sebenarnya adalah akal
manusia yang abstrak. Agama Kristen sangat berbeda, sebab ia dengan
kokoh didasarkan pada fakta-fakta historis tentang kehidupan,
kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (1Korintus 15:3-11).
"Ilah" Stoik adalah abstraksi yang samar-samar, kadang-kadang
dihubungkan dengan seluruh alam semesta, kadang-kadang dengan akal,
dan kadang-kadang malah dengan unsur api: "Tidak kita tahu ilah apa
itu, tetapi ada ilah yang berdiam" (Seneca, Surat-surat 41.2,
dikutip dari Virgil). Sebaliknya Allah yang dikenal Paulus adalah
Wujud pribadi yang dinyatakan dalam Kristus: "Karena seluruh
kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia" (Kolose 1:19).
Para Stoik mau menemukan "keselamatan" dalam keswasembadaan. Mereka
berusaha memperoleh penguasaan atas diri sendiri agar dapat hidup
secara serasi dengan alam. "Tujuan hidup adalah untuk bertindak
sesuai dengan alam, yakni sekaligus baik dengan alam yang ada dalam
diri kita maupun dengan alam semesta .... Jadi kehidupan yang sesuai
dengan alam adalah keberadaan yang bijak dan bahagia, yang dinikmati
hanya oleh orang yang selalu berusaha memelihara keserasian antara
setan di dalam pribadi dengan kehendak Kuasa yang mengatur alam
semesta" (Diogenes Laertius vii.1.53). Bagi Paulus, keselamatan
berbeda sekali dengan gagasan tersebut. Ia menemukan bahwa
keselamatan tidak bergantung pada diri sendiri, melainkan dengan
penyerahan diri kepada Yesus Kristus: "Aku telah disalibkan dengan
Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi
sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah
yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku"
(Galatia 2:19-20).
Filsafat Stoik tidak mempunyai masa depan; melainkan merupakan
agama keputusasaan. Kebanyakan orang dianggap tidak sanggup mencapai
kedewasaan moral. Masa depan mereka adalah untuk dibinasakan di mana
satu siklus sejarah dunia mengikuti siklus lainnya, hanya untuk
dilahirkan kembali atau di-reinkarnasi -- begitu rupa sehingga
seluruh siklus dapat diulangi. Agama Kristen bertentangan dengan hal
ini, dan menyatakan bahwa dunia yang kita kenal pasti akan berakhir
dengan campur tangan Kristus sendiri. Kemudian akan tercipta suatu
tata dunia yang sama sekali baru (1Korintus 15:20-28).
Pengaruh Stoik terhadap Paulus haruslah dianggap sangat kecil saja.
Setiap orang tak luput dari pemakaian kata-kata dan ungkapan-ungkapan
yang dikenal dari konteks lain. Tetapi kalau Paulus memakai bahasa
Stoik, maka ia memberikannya arti baru. Sebab berita Paulus tentang
keselamatan melalui Kristus jauh berbeda dengan berita Stoik tentang
keselamatan melalui penguasaan diri.
Paulus dan Agama-agama Rahasia
Sepintas lalu, ada beberapa kemiripan antara agama-agama rahasia dan
agama Kristen. Keduanya datang ke Roma dari Timur. Keduanya menawarkan
"keselamatan" kepada pengikut-pengikutnya. Keduanya memakai upacara
penerimaan pengikut baru (baptisan Kristen) dan santapan sakramen
(perjamuan kudus Kristen). Keduanya menyapa Allah penyelamatnya
sebagai "Tuhan". Jika pengikut agama rahasia menjadi Kristen, maka
terkadang kepercayaan-kepercayaan rahasia terbawa ke dalam jemaat.
Mungkin peristiwa seperti inilah yang menjadi sumber persoalan di
jemaat di Korintus, sehingga Paulus menulis surat-surat kepada
jemaatnya.
Oleh karena adanya persamaan antara agama Kristen dengan agama-agama
rahasia, beberapa ahli mengira Paulus mengubah ajaran Yesus yang
sederhana menjadi semacam agama rahasia. Namun tidak ada lagi ahli
yang mempunyai pandangan semacam itu dewasa ini, karena tidak ada
bukti sejarah yang mendukungnya secara nyata. Bukti yang ada malah
menunjukkan kebalikannya.
Agama-agama rahasia selalu bersedia, bahkan rindu, bergabung dengan
agama-agama lain. Ini sesuatu yang selalu ditolak oleh orang-orang
Kristen, karena percaya hanya mereka saja yang memiliki seluruh
kebenaran yang dinyatakan oleh Kristus.
Banyak bukti yang dahulu menunjukkan bahwa Paulus seorang penganut
agama rahasia sekarang dianggap palsu. Umpamanya, gelar "Tuhan" yang
dipakai untuk Yesus, sekarang ternyata diambil bukan dari agama-
agama rahasia melainkan dari Perjanjian Lama. Pengakuan iman Kristen
"semoga Tuhan kita datang" (yang ditulis dalam bentuk Aram,
Maranata; 1Korintus 16:23) menunjukkan bahwa jemaat mula-mula di
Yerusalem -- satu-satunya jemaat yang berbahasa Aram -- rupanya
telah memberikan gelar itu kepada Yesus jauh sebelum munculnya
Paulus.
Apa yang mengesankan bagi dunia kafir bukanlah kemiripan agama
Kristen dengan agama-agama lain, melainkan perbedaannya. Tuduhan
yang paling sering dilontarkan terhadap orang-orang Kristen adalah
mereka ateis, sebab tidak mau mengakui ilah-ilah lain.
Tentu Paulus mengenal agama-agama rahasia, dan kemiripannya dengan
agama Kristen. Mereka menceritakan tentang dewa-dewa yang turun dalam
bentuk manusia; tentang keselamatan sebagai "mati" terhadap hidup yang
lama; tentang seorang dewa yang memberikan hidup kekal; dan tentang
dewa penyelamat yang dipanggil "tuhan". Ada kemungkinan Paulus, yang
siap "menjadi segala-galanya bagi semua orang" (1Korintus 9:22),
kadang-kadang dengan sengaja memakai ragam bahasa mereka. Tetapi
kemungkinan besar ia memakainya secara tidak sadar. Sebab orang-orang
terpelajar dari zamannya memakai bahasa agama-agama rahasia dengan
mudah dan tanpa ikatan, sama seperti kita sering memakai bahasa
astrologi populer dewasa ini. Paulus tidak menunjukkan bahwa ia
memiliki pengetahuan secara rinci tentang agama-agama rahasia. Ia
tidak pernah menyebut upacara-upacara mereka secara jelas.
Latar belakang Paulus meliputi tiga dunia pemikiran: dunia Yahudi,
dunia Yunani, dan dunia agama rahasia. Masing-masing dunia ini dapat
memberikan sekadar keterangan tentang kepribadian dan pengajarannya.
Tetapi kita akan khilaf bila menganggap Paulus hanyalah produk alami
dari lingkungan kebudayaannya. Ia menganggap dirinya sendiri terutama
sebagai "seorang di dalam Kristus" (2Korintus 12:2) atau seorang
Kristen. Apa pun yang diperolehnya dari sumber sumber lain, ia
mengakui bahwa Tuhannya yang baru mempunyai kuasa yang melebihi mereka
semua, dan demi Kristus ia menganggap yang lainnya sebagai "sampah"
(Filipi 3:8).
|