DAS Referensi 06b

Nama Kursus : Doktrin Allah Sejati
Nama Pelajaran : Penciptaan dan Pemeliharaan Allah
Kode Referensi : DAS-R06b


Referensi DAS-R06b diambil dari:

Judul Buku : Teologi Sistematika (Doktrin Allah)
Penulis : Louis Berkhof
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1993
Halaman : 311 - 317

REFERENSI PELAJARAN 06b - PROVIDENSIA

Teisme Kristen menentang baik pemikiran deistik yang memisahkan Allah dari dunia dan kebingungan panteistik tentang Allah dan dunia. Maka doktrin penciptaan segera diikuti dengan doktrin providensi yang didalamnya jelas didefinisikan pandangan Alkitab tentang hubungan antara Allah dengan dunia. Walaupun istilah "providensi" tidak kita temukan dalam Alkitab, doktrin providensi sesungguhnya memancar dari Alkitab. Kata ini berasal dari kata Latin providentia, yang setara dengan kata bahasa Yunani "pronoia". Kata-kata ini pada dasarnya berarti pengetahuan atau penglihatan awal, tetapi perlahan-lahan kemudian memperoleh arti yang lain. Makna penglihatan awal di satu pihak masih terkait dengan rencana masa datang, dan dipihak lain dengan pelaksanaan rencana ini. Jadi kata "providensi" menjadi arti penting bagi provisi yang dilakukan Allah bagi akhir pemerintahan-Nya, dan juga dalam menunjang dan memerintah kehidupan makhluk-Nya. Makna seperti inilah yang sekarang diterima dalam teologi, tetapi makna ini bukan satu-satunya makna yang dipakai para teolog. Turretin mendefinisikan istilah "providensi" ini dalam arti luas dan berarti: (1) pengetahuan sebelumnya, (2) pemilihan sebelumnya dan (3) pelaksanaan yang menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan. Akan tetapi dalam pemakaian umum makna kata ini terbatas pada arti yang terakhir.

  1. Providensi Secara Umum.

    1. Sejarah dari Doktrin Providensi.

    2. Dengan doktrin providensi yang dimiliki maka gereja menentang baik penjelasan Epikuros tentang dunia yang dipimpin oleh kesempatan-kesempatan, dan pandangan Stoa bahwa dunia diatur oleh nasib. Sejak semula para teolog menegaskan bahwa Allah memelihara dan memerintah dunia. Akan tetapi pengertian ini tidak selalu mengandung makna yang absolut tentang pengaturan Allah akan segala sesuatu. Berkenaan dengan hubungan di antara keduanya, sejarah dari doktrin providensi mengikuti sejarah dari doktrin predestinasi. Bapak Gereja yang paling awal tidaklah memberikan pandangan yang tertentu tentang doktrin ini. Bertentangan dengan doktrin Stoa tentang nasib, keinginan Bapak-bapak Gereja ini adalah senantiasa menjaga kesucian Allah, tetapi mereka sering terlalu menekankan kehendak bebas manusia dan sampai derajat tertentu menunjukkan kecenderungan pemerintahan providensia mutlak dari Allah dalam kaitan dengan tindakan manusia yang berdosa. Agustinus membuka jalan dalam perkembangan doktrin ini: Berlawanan dengan doktrin tentang nasib dan kesempatan, Agustinus menekankan kenyataan bahwa segala sesuatu dipelihara dan diperintah oleh kehendak Allah yang berdaulat, bijaksana, dan bermaksud baik. Agustinus tidak memberikan cadangan dalam hubungan dengan providensi Allah, tetapi selalu berpegang bahwa Allah mengatur segala yang baik dan jahat yang ada dalam dunia ini. Dengan cara mempertahankan kenyataan kausa kedua, Agustinus menjaga kesucian Allah dan menunjang tanggung jawab manusia. Selama abad pertengahan hanya ada sedikit pertentangan tentang doktrin providensi ini. Tidak ada satu konsilipun yang membahas soal doktrin ini. Pendapat Agustinus masih tetap dipegang di mana pendapat ini senantiasa menghadapkan segala sesuatu pada kehendak Allah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada pendapat yang menentang doktrin ini. Pelagianisme, membatasi providensi pada kehidupan alamiah dan menyingkirkan providensi dalam kehidupan etis. Semi Pelagianisme juga berpendapat agak mirip, walaupun mereka tidak sepenuhnya setuju dengan seluruh pandangan Pelagianisme tersebut. Sebagian dari kelompok Skolastik menganggap perlindungan Allah sebagai kesinambungan dari tindakan penciptaan-Nya, sedangkan yang lain sungguh-sungguh membedakan antara keduanya. Doktrin Thomas Aquinas tentang providensi ilahi mengikuti jalur utama dari Agustinus, dan Aquinas percaya bahwa kehendak Allah yang ditentukan oleh kesempurnaan-Nya mengatur dan memerintah segala sesuatu; sedangkan Duns Scotus dan para Nominalist seperti Biel dan Occam menjadikan segala sesuatu tergantung pada kehendak yang sembarangan dari Allah. Pendapat seperti ini adalah pendahuluan yang kelihatan dari aturan kesempatan.

      Para Reformator secara keseluruhan menerima doktrin dari Agustinus tentang providensi ilahi, walaupun diantara para Reformator tersebut ada sedikit perbedaan dalam rinciannya. Luther percaya pada providensi umum, tetapi ia tidak menekankan pengaturan dan pemerintahan Allah sebagaimana dipercaya oleh Calvin. Luther melihat doktrin ini terutama dalam sudut soteriologisnya. Socinian dan Arminian (walaupun keduanya tidak persis sama) membatasi providensi Allah dengan cara menekankan kekuasaan yang tidak terikat yang dimiliki manusia untuk memulai tindakan dan dengan demikian mengatur hidupnya sendiri. Pengaturan atas dunia ini diambil dari tangan Allah dan diberikan pada tangan manusia. Dalam abad delapan belas dan sembilan belas providensi digantikan oleh Deisme yang menyebutkan Allah telah menarik diri-Nya dari dunia setelah penciptaan; dan juga digantikan oleh pandangan Panteisme, yang menyamakan Allah dengan dunia, dan menyingkirkan semua perbedaan antara penciptaan dan providensi, serta menyangkal realitas kausa kedua. Dan kendatipun Deisme sekarang ini dapat dianggap sebagai sesuatu dari masa lampau, pandangan mereka tentang pengatur dunia tetap dilanjutkan oleh ilmu alam, yang mengatakan bahwa dunia ini diatur oleh sistem-sistem hukum yang sudah amat tua. Dan teologi liberal modern dengan konsep panteistiknya tentang Allah yang imanen juga cenderung untuk membuang doktrin providensi.

    3. Pandangan tentang Providensi.

    4. Providensi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang terus menerus berlangsung dari kekuatan ilahi di mana sang Pencipta melindungi semua makhluk-Nya, yang bertindak dalam segala yang terjadi didalam dunia, dan mengarahkan segala sesuatu pada tujuan akhir yang telah ditunjuk. Definisi ini memberikan petunjuk akan adanya tiga elemen dalam providensi, yaitu perlindungan (conservatio, sustentatio), ada bersama-sama, bekerja bersama (concursus, co-operatio), dan pemerintahan (gubernatio). Calvin, Katekismus Heidelberg dan para ahli dogmatika masa kini (Dabney, Hodge, Dick, Shedd, McPherson) hanya membicarakan dua elemen, yaitu perlindungan dan pemerintahan. Akan tetapi pendapat ini bukan berarti bahwa mereka menyingkirkan elemen ada bersama-sama itu, tetapi mereka menganggap bahwa elemen ini telah tercakup dalam cara di mana Allah melindungi dan memerintah dunia. McPherson tampaknya berpendapat bahwa hanya sebagian dari teolog Lutheran yang utama menerima tiga pembagian yang ada; tetapi di sini ia keliru, sebab sudah sangat umum dikalangan para ahli dogmatika Belanda sejak abad tujuh belas (Mastricht; a Marck, De Moor, Brakel, Francken, Kuyper, Bavinck, Vos, Honig). Mereka berangkat dari pembagian yang lebih lama, sebab mereka ingin lebih mengutamakan elemen ada bersama-sama, dalam usaha untuk menahan bahaya dari Deisme dan Panteisme. Tetapi walaupun kita membedakan adanya tiga elemen providensi, kita harus selalu ingat bahwa ketiganya tidak pernah dapat dipisahkan dalam pekerjaan Tuhan. Kendatipun perlindungan mengacu kepada keberadaan, ada bersama-sama mengacu pada tindakan dan pemerintahan mengacu pada pimpinan terhadap segala sesuatu, semua ini tidak pernah boleh dipahami dalam pengertian yang eksklusif. Dalam perlindungan selalu ada elemen pemerintahan, dalam elemen pemerintahan selalu ada elemen tentang keadaan bersama-sama, dan dalam keadaan bersama-sama selalu ada elemen perlindungan. Panteisme tidak membedakan antara penciptaan dan providensi, tetapi teisme menekankan dua perbedaan: (a) Penciptaan adalah tindakan menjadikan ada semua yang sebelumnya belum pernah ada, sedangkan providensi melanjutkan atau menyebabkan terus berlanjutnya apa yang telah dijadikan ada tersebut. (b) Dalam penciptaan tidak akan pernah ada kerjasama antara makhluk ciptaan dengan sang Pencipta, tetapi dalam providensi ada kebersamaan antara Kausa Pertama dan kausa kedua. Dalam Alkitab keduanya senantiasa berbeda.

    5. Salah Pengertian tentang Natur Providensi.

      1. Terlalu membatasi pengertian providensi menjadi sekedar pengetahuan sebelumnya ditambah pemilihan sebelumnya. Pembatasan seperti ini dapat kita temukan di antara beberapa Bapak Gereja. Akan tetapi kenyataannya sebenarnya ketika kita membicarakan providensi Allah, pada umumnya kita tidaklah memikirkan tentang pengetahuan sebelumnya ataupun pemilihan sebelumnya dari Allah, tetapi hanyalah tindakan-Nya yang terus berlanjut dalam dunia demi terlaksananya semua rencana-Nya. Kita menyadari bahwa providensi tidak dapat dipisahkan dari ketetapan kekal-Nya, tetapi juga merasakan bahwa keduanya dapat, dan seharusnya dapat dibedakan. Keduanya sering dibedakan sebagai providensi yang imanen dan sementara.

      2. Konsep deistik tentang providensi ilahi. Menurut Deisme kepentingan antara Allah dengan dunia tidaklah universal, khusus ataupun tak pernah berakhir, tetapi sebenarnya hanyalah berkenaan dengan alam secara umum. Pada saat penciptaan Allah menanamkan didalam diri setiap makhluk sifat-sifat yang tak mungkin diambil kembali, dan menempatkannya di bawah hukum yang tak dapat berubah, dan membiarkannya bekerja untuk mencapai tujuannya menurut kekuatan mereka sendiri. Sementara itu Ia hanya melakukan pengamatan secara umum, bukan terhadap setiap pelaku satu persatu tetapi hanya atas hukum-hukum secara umum yang telah Ia tetapkan. Dunia ini hanyalah seperti mesin yang telah digerakkan Allah, dan bukannya seperti kapal yang terus menerus dikemudikan-Nya tiap hari. Konsep deistik seperti ini merupakan ciri khas dari Pelagianisme, yang diterima oleh sejumlah teolog Roma Katolik, didukung oleh Socianisme, dan hanyalah salah satu dan kesalahan mendasar dan Arminianisme. Pandangan ini diberi jubah filsafat oleh kaum Deistik abad delapan belas dan muncul dalam bentuk baru di abad sembilan belas di bawah pengaruh teori evolusi dan ilmu alam, dengan penekanan kuat dalam keseragaman alam yang diatur oleh suatu sistem yang tidak luwes dari hukum-hukum yang sudah tua sekali.

      3. Pandangan Teistik tentang providensi ilahi. Panteisme tidak membedakan antara Allah dan dunia. Panteisme ini menyerapkan Allah ke dalam dunia dan juga menyerapkan dunia ke dalam Allah, dan dalam semua ini panteisme tidak memberi tempat pada penciptaan dan menyingkirkan providensi dalam arti yang sebenarnya. Memang benar bahwa Panteisme membicarakan providensi, tetapi apa yang mereka sebut sebagai providensi ini sebenarnya persis sama dengan berjalannya alam semesta, dan ini adalah wahyu Allah, suatu wahyu diri yang tidak memberikan ruang kepada tindakan dari kausa kedua dalam segala artinya. Dan sudut pandang ini maka apa yang supranatural itu pastilah tidak mungkin, atau bisa juga berarti bahwa apa yang natural dan supranatural adalah sama, kesadaran akan penentuan diri sendiri yang bebas oleh manusia adalah menyesatkan, kewajiban moral adalah hanyalah bayang-bayang imajinasi, dan doa serta ibadah agama adalah takhayul. Teologi senantiasa berhati-hati terhadap serangan dari Panteisme ini, tetapi sepanjang abad terakhir ini kekeliruan ini telah berhasil menyebarkan dirinya secara luas dalam teologi liberal modern di bawah pengaruh doktrin imanensi Allah.

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA