AUA-I Referensi 04b

Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04c

Nama Kursus : APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran : Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Referensi : AUA I-R04b

Referensi AUA I-R04b diambil dari:

Judul buku : Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel : Karakter Esensial Dosa
Penulis : Anthony A. Hoekama
Penerbit : Momentum, Surabaya 2003
Halaman : 217 -- 221

KARAKTER ESENSIAL DOSA

Dosa selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang menyamakan dosa dengan ketidaksempurnaan - yaitu ketidaksempurnaan yang merupakan aspek yang normal dari natur manusia. "Tak seorang pun yang sempurna," "Setiap orang melakukan kesalahan," "Kamu 'kan hanya manusia," dan banyak pernyataan senada menunjukkan pemikiran ini. Bertentangan dengan ini, kita harus menyatakan dengan tegas bahwa, sesuai Alkitab, dosa selalu merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Meskipun ada banyak hukum di dalam Alkitab, khususnya di kelima kitab pertama Perjanjian Lama, apa yang dimaksudkan dengan hukum di sini adalah sekelompok kecil perintah yang kita akui meringkaskan apa yang Allah inginkan dari manusia, yaitu Sepuluh Perintah.

Meskipun hukum ini Allah berikan kepada bangsa Israel di Gunung Sinai,
hukum ini tidak berisi standar moral yang benar-benar asing bagi
manusia. Lewis Smedes menyatakannya demikian:

Apa yang Musa bawa dari Sinai mendukung satu moralitas yang umum bagi umat manusia, yang ditegaskan oleh hati nurani setiap kali ia dilanggar dalam praktik. Orang-orang yang hanya tahu sedikit dan tidak terlalu memedulikan apa yang Alkitab katakan, tetap mengetahui apa yang sebenarnya Alkitab inginkan dalam kehidupan moral, meski hal itu bertentangan dengan diri mereka sendiri. Paulus menganggap bahwa, sejauh menyangkut moralitas, orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang perintah Allah, dengan cara tertentu mengenal kehendak-Nya [5].

Untuk membuktikan pernyataan terakhir ini, Smedes meneruskan dengan mengutip Roma 2:14-16:

Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.

Tetapi, apa yang "tertulis di dalam hati" orang-orang yang tidak pernah membaca Alkitab, secara khusus dijabarkan dalam Sepuluh Perintah yang terdapat di Keluaran 20 dan Ulangan 5. Dari Alkitab yang sama orang percaya tahu bahwa melanggar perintah Allah merupakan dosa. Dengan kata lain, seperti dinyatakan Katekismus Heidelberg, orang Kristen belajar mengetahui dosa mereka dari hukum Allah.[6] Ayat-ayat Alkitab berikut ini menegaskannya: "Oleh hukum Taurat orang mengenal dosa" (Rom. 3:20b); "Oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: 'Jangan mengingini"' (Rom. 7:7b); "Jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran" (Yak. 2:9); "Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah" (1 Yoh. 3:4).

Mazmur 51:6 menyatakan bahwa semua dosa, bahkan dosa terhadap sesama, juga merupakan dosa terhadap Allah. Daud telah begitu luar biasa berdosa terhadap Batsyeba dan Uria; akan tetapi ketika ia akhirnya mengakui dosanya, ia berkata kepada Allah, "Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat." Daud tidak bermaksud mengatakan bahwa ia tidak berdosa terhadap orang lain, tetapi di dalam kedalaman pertobatannya, ia tiba pada suatu keyakinan bahwa semua dosa pada akhirnya merupakan dosa terhadap Allah. Dosa orang tua pertama kita merupakan ketidaktaatan pada perintah Allah, dan setiap dosa yang terjadi setelah itu bisa dilihat sebagai hal yang sama.

Jadi, secara mendasar, dosa merupakan perlawanan terhadap Allah, pemberontakan terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah. Mengutip kembali Katekismus Heidelberg, "Aku memiliki kecenderungan alamiah untuk membenci Allah dan sesamaku" [7]. Sebagai bukti, Katekismus ini mengacu pada Roma 8:7, "Keinginan daging [keinginan manusia secara alamiah] adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah, hal ini memang tidak mungkin baginya."

Tetapi, sebelum kita meninggalkan poin ini, ada hal lain yang perlu dikatakan. Agar bisa terpahami sepenuhnya, dosa harus dilihat bukan hanya dalam terang hukum tetapi juga dalam terang Injil. Injil - kabar baik tentang apa yang telah Kristus perbuat untuk menyelamatkan kita dari dosa - merupakan hal yang niscaya justru karena kita telah melanggar hukum Allah. Saat kita melihat apa yang harus Kristus alami untuk menyelamatkan kita dari dosa, atau melihat ke Kalvari dan mendengar seruan Kristus yang menyayat hati, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat. 27:46), kita melihat betapa menakutkannya dosa itu. Pernyataan murka Allah terhadap dosa yang ditunjukkan di salib Kristus, yang telah dijadikan dosa demi kita (2 Kor. 5:21), menyatakan beratnya kesalahan kita yang tak terukur ini. Ketika menanggapi pertanyaan, "Mengapa Allah tidak bisa serta-merta menghapus dosa manusia tanpa menuntut korban pendamaian?" Anselmus berkata, "Anda belum memikirkan betapa berat beban dosa itu" [8]. Tetapi, Injil tak hanya menunjukkan kebusukan dosa kita; Injil juga memproklamirkan cara kita bisa dilepaskan dari dosa, dan oleh karena itu menyerukan agar kita bertobat.

Dosa bersumber dalam apa yang Alkitab sebut sebagai "hati. " Augustinus sering berkata bahwa dosa bersumber dalam kehendak manusia: "Jika kehendak itu sendiri bukanlah sebab pertama dosa, maka sama sekali tak ada sebab pertama" [9]. Tetapi, apa yang lazim kita sebut sebagai "kehendak" hanyalah nama lain bagi totalitas pribadi yang membuat keputusan. Kita tak pernah memakai kehendak yang "terisolasi"; apa yang kita sebut berkehendak selalu melibatkan aspek-aspek lain seperti intelek dan emosi, Di balik kehendak ada pribadi yang menghendaki.

Jadi, dengan memakai bahasa alkitabiah, saya memilih untuk berkata bahwa dosa bersumber di dalam hati. Saya di sini memakai konsep hati sebagaimana dipakai di dalam Alkitab: untuk menunjuk inti batiniah dari satu pribadi; "organ" untuk berpikir, merasa dan menghendaki; titik pusat dari semua fungsi kita [10]. Dengan kata lain, dosa bukan bersumber di dalam tubuh atau di dalam salah satu kapasitas manusia yang mana pun, melainkan bersumber di dalam pusat keberadaannya, yaitu hatinya. Karena dosa telah meracuni sumber kehidupan itu sendiri, seluruh kehidupan sudah pasti terpengaruh olehnya.

Dosa mencakup pikiran sekaligus tindakan. Menurut hukum Dukungan alkitabiah untuk poin ini bisa ditemukan dalam ayat-ayat berikut: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Ams. 4:23); "Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" (Yer. 17:9); "Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat" (Mat. 15:19); "Orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya" (Luk. 6:45b).

Manusia, perbuatan salah hanya berkenaan dengan apa yang seorang lakukan atau tidak lakukan, bukan dengan apa yang seorang pikirkan; tak seorang pun dipenjarakan karena pikiran yang keliru (kecuali pikiran itu telah diungkapkan). Tetapi hukum Allah menjangkau jauh lebih dalam. Bahwa pikiran bisa berdosa sebagaimana ucapan dan perbuatan, terlihat jelas dari hukum kesepuluh yang melarang sikap mengingini. Yesus dengan jelas mengajarkan bahwa sekalipun pikiran untuk berzinah belum diwujudkan, itu tetap merupakan dosa: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya" (Mat. 5:28). Dalam Galatia 5:16, 17 dan 24, Paulus juga berbicara tentang "keinginan daging." Daging di sini berarti keseluruhan natur manusia di bawah perbudakan dosa; NIV menerjemahkan epithumian sarkos di ayat 16 sebagai "desires of the sinful nature" ("hasrat dari natur berdosa"). Jelas dalam ayat-ayat ini, kata Yunani epithumia (hasrat) berarti hasrat yang tidak baik, hasrat akan hal-hal terlarang. Jadi, terjemahan KJV, "lust of the flesh," mungkin lebih akurat dan juga lebih jelas daripada terjemahan RSV, "desires of the flesh." Ketika Paulus berkata, "Keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging" (ay. 17), ia menekankan fakta bahwa selain perbuatan berdosa, terdapat pula keinginan yang berdosa.

Catatan Kaki:

  • [5] Mere Morality (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), him. 10.
  • [6] Katekismus Heidelberg, Pertanyaan dan Jawaban 3.
  • [7] Jawaban 5 (terj. 1975, Christian Reformed Church).
  • [8] Cur Deus Homo (Why God Became Man). Buku I, Bab 21: "Nondum considerasti quanti ponderis sit peccatum."
  • [9] De Libero Arbitrio, 111. 17.
  • [10] Pemahaman bahwa "hati" adalah titik pusat dari seluruh fungsi temporal kita telah dikembangkan belakangan ini khususnya oleh D.H. Th. Vollenhoven (Het Calvinisme en de Reformatie van de Wijsbegeerte [Amsterdam: H. J. Paris, 19331) dan Herman Dooyeweerd (De Wijsbegeerte der Wetsidee, 3 vol. [Amsterdam: H.J. Paris, 1935]). Ringkasan dari pandangan mereka terdapat di dalam tulisan KL Popma, "Het Uitgangspunt van de Wijsbegeerte der Wetsidee en het Calvinisme," di dalam De Reformatie van het Calvinistisch Denken, ed. C.P. Boodt (The Hague: Guido de Bres, 1939). Lihat juga pembahasan mengenai ungkapan Alkitab untuk "hati" dalam bab 11 buku ini.
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA